Labumi.id, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyelenggarakan survei dengan menggandeng beberapa lembaga, yakni Alvara Strategi Indonesia, Litbang Kementerian Agama, Nasaruddin Umar Office serta The Nusa Institute. Hasil dari survei ini menyebutkan bahwa potensi radikalisme tahun 2020 menurun.
Fakta yang dihasilkan di lapangan bahwa indeks radikalisme menurun, dibandingkan tahun sebelumnya. Mencapai 14,0 (pada skala 0-100), yang berati turun dari 12,2 persen dibandingkan tahun 2019 yang kala itu mencapai 38,4 (pada skala 0-100).
Kepala BNPT, Komisari Jenderal Polisi Boy Rafli Amar menjelaskan, terjadi feminisasi radikalisme, radikalisasi generasi muda, urbanisasi radikalisme dan netizen, serta literasi digital belum menjadi daya tangkal yang efektif melawan radikalisme.
“Ini merupakan kabar yang menggembirakan, karena kerja-kerja kontra radikalisme selama ini membuahkan hasil,” kata Boy Rafli Amar dalam rilis yang disampaikan disela pelaksanaan Rakornas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme, Rabu (16/12) malam.
Boy Rafli Amir berharap menurunnya radikalisme jangan sampai membuat kerja-kerja kontra radikalisme jadi menurun, sebaliknya justru semakin keras melakukan diseminasi melawan propaganda kelompok radikal yang intoleran dan radikal terorisme.
Dia menambahkan masalah radikalisme di Indonesia di peta global cenderung menurun dan menempati urutan ke-37. Bahkan di Asean, posisinya lebih rendah dibandingkan Thailand dan Filipina.
Penetrasi jaringan teroris internasional dalam proses radikalisasi menyasar dunia maya. Dunia digital merupakan pangsa pasar yang empuk bagi jaringan radikal, karena bisa memasuki langsung dunia generasi milenial, generasi Z sebagai pengguna paling tinggi dunia maya.
“Mereka tahu yang disasar generasi milenial, bukan yang tua-tua lagi,”jelas Boy.
Menurunnya potensi radikalisme sebagaimana terpapar dalam survei disebabkan terjadinya feminisasi radikalisme dimana perempuan radikalis lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada perempuan indeks potensi radikalisme mencapai 12,3 persen, sedangkan laki-laki hanya 12,1 persen.
Sedangkan urbanisasi radikalisme merujuk kepada fakta, tingginya radikalisme di masyarakat perkotaan dibandingkan di pedesaan. Bahkan temuan penelitian tahun 2020 menunjukkan, potensi radikalisme di masyarakat urban mencapai 12,3 persen, sedangkan di masyarakat rural 12,1 persen.
Hal tersebut menurut Boy Rafli Amir dikarenakan banyak generasi muda mencari sumber-cumber keagamaan lewat dunia maya. Netizen yang mencari konten keagamaan di internet memiliki indeks potensi radikalisme yang lebih tinggi, 12,6 persen, jika dibandingkan netizen yang tidak aktif mencari konten keagamaan, 11,2 persen.
Paparan data menunjukkan, para penyebar konten berbau keagamaan juga relatif tinggi mencapai 13,3 persen, sedangkan yang tidak menyebarkan konten agam hanya berkisar di 11,2 persen.
Menurut Kepala BNPT, jaringan terorisme global seperti ISIS maupun Al Qaeda sangat mempengaruhi cara berpikir warganet, terutama generasi milenial.
Mereka melakukan penetrasi melalui dunia digital secara masif, yang harapannya semakin banyak pengikutnya semakin banyak pula pengikut jaringan terorisme global ini dengan mengedapanka kekerasan, intoleransi bahkan bisa bertindak segala cara. (Red)