Tata niaga garam diawal musim produksi tahun ini, tanpaknya tidak menggembirakan bagi petani. Harga kristal emas itu anjlok diangka terpuruk selama tiga tahun terakhir, hanya dikisaran Rp. 600 ribu, bahkan Rp. 400 ribu per ton. Atau antara Rp. 400 hingga Rp. 600 rupiah per kilo gram.
Sebelumnya harga garam itu diatas Rp. 1 juta hingga Rp. 1 juta 500 ribu rupiah, bahkan jika di 2017 lalu harganya sempat melangit diatas Rp. 2 juta per ton. Namun, sayangnya petani hanya menikmati sesaat manisnya harga garam rakyat tersebut.
Sebab, sejak tahun lalu, harganya semakin menurun, terus menurun, dan merosot, bahkan anjlok seperti sekarangnya ini. Parahnya lagi, hasil produksi garam musim tahun lalu banyak tidak terserap, menumpuk di gudang-gudang penyimpanan yang tersebar di sejumlah Kecamatan centra penghasil garam.
Kita mencatat data di Paguyuban Petani Garam Rakyat Sumenep (Perras), tercatat 30.000 hingga 40.000 ton sisa produksi tahun lalu tidak laku karena sepi pembeli karena hanya beberapa pabrikan yang biasa membeli garam petani rakyat melakukan penyerapan. Itupun, harganya jauh dari standart harapan petani, sehingga petanipun enggan melakukan pembelian lantaran tidak sesuai dengan tenaga dan biaya produksiĀ yang dikeluarkan.
Betapa petani garam rakyat tidak risau, sebab selain stok ribuan garam hasil produksi tahun lalu tidak terserap, kini penggarapan garam sudah mulai memasuki masa produksi. Dan sebagian mulai panen, sehingga dipastikan tumpukan hasil garam semakin menggunung, tidak terserap.
Disinilah ancaman hukum ekonomi bisa berlaku. Logikanya, ketika stok barang atau persediaannya cukup banyak atau melimpah, kemudian tingkat permintaan sedikit, maka jelas harganya makin murah dan anjlok. Inilah yang diresahkan petani saat ini.
Tidak bergairahnya tata niaga garam yang dirasakan akhir-akhir ini jelas akan berdampakĀ pada kesejahteraan dan ekonomi petani. Kita melihat, hasil produksi garam petani setiap tahunnya terus meningkat baik secara kwalitas maupun kuantitas, apalagi sekarang umumnya menggunakan sistem geomimbran atau polibek.
Bahkan, ditahun ini, hasil produksi garam petani juga membaik, namun justru realitasnya tidak berdampak baik pula terhadap kesejahteraan petani. Kita mendengar petani tidak hanya menangis, namun menjerit-jerit karena garam yang diproduksi nyaris tidak ada harganya lagi. Garam yang katanya disebut kristal emas lagi ternyata tidak seharga emas.
Kita memandang buruknya tata niaga garam yang dikeluhkan petani dewasa ini tidak lepas dari kurang seriusnya Pemerintah mengawal tata niaga garam. Harga jual beli garam seakan dilepas begitu saja dan diserahkan kepada pengusa sepenuhnya, tanpa campur tangan pemerintah, Bahkan ketentuan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan tidak ubadahnya sebagai macan kertas tak bergigi yang tidak memberi efek apa-apa.
Harga garam rakyat yang dijual masih dibawah standar sebagaimana yang diatur Peraturan Mentri Perdagangan. Belum lagi, ijin impor garam yang terkesan longgar dikeluarkan, sehingga berdampak buruk terhadap garam lokal.
Pemerintah tentu wajib hadir mengatasi buruknya tata niaga garam yang dialami petani. Pihak berwenang dan Instansi terkait baik di daerah, Provinsi maupun Pusat harus ambil bagian dalam mengawal kepentingan petani dan melakukan langkah-langkah strategis supaya petani tidak selalu dirugikan.
Realitas banyaknya stok garam lokal yang masih belum terjual harusnya menjadi perhatian, apalagi tengah memasuki produksi dengan menyetop impor garam. Apalah artinya kwalitas hasil produksi yang meningkat, kalau harganya tidak naik bahkan murah dan anjlok. Dan apalah artinya pula jumlah produksi melimpah, kalau hingga memasuki musim produksi tahun berikutnya ternyata tidak terjual dan terjajah garam impor. Inilah PR yang harus dipecahkan secepatnya.
Demikian, Salam dari Redaksi Labumi.Id. (*)