Menyimak perjalanan Baiq Nuril Maknun yang mencari keadilan, bagi Dolkomad seperti membuka lapisan kisah pakeliran orang kecil dihadapan negara. Ketika seseorang tidak mendapatkan akses kepada aparatur publik, penegak hukum dan pemerintah, betapa rapuhnya kehidupan yang dijalani.
“Ini bisa terjadi kepada siapapun, bahkan jauh sebelum Nuril,”Dolkamad mengatakan.
Yang diajak bicara, membetulkan headset yang nyangkut dihidungya. Dahinya hanya berkerut. “Sum Kuning, peristiwa Mei 1998, itu sekedar contohnya,”Dolkamad nyerocos lagi. “Dari pelecehan berat, hingga semelekete. Dari yang benderang, samar dan tidak bersuara. Datanya tersimpan baik di Mbah Gogel, tinggal klok jari.”
Merasa tetap tak dihiraukan, ia lalu diam. Kini pikirannya yang ngoceh sendiri. Wajahnya seperti tegang, tidak tolah-toleh lagi, melainkan spaneng ke depan. Jauh di sana, anak-anak kecil bermain petak umpet. Masih untung kasus yang menimpa Nuril jadi perhatian. Banyak aktivis dan LSM yang turun tangan. Selebritas banyak yang simpati, beberapa menteri dan termasuk punggawa parlemen juga.
“Apakah perhatian yang didapatkan Nuril juga didapatkan, bagi mereka yang tak bersuara,?” tanya yang jidatnya besar. Headset di kupingnya sudah dikalungkan.
Itu bukan tugas kita, sebab paling banter kita membantu menyebarkan di status WA dan dinding Facebook. Tapi, bagaimanapun prosesnya Nuril memberikan pelajaran bagi perempuan Indonesia, agar menjadi Srikandi pemberani. Tidak cemen. Meski ia mesti merengek-rengek meminta Amnesti pada Presiden Jokowi, karena hanya hak prerogratif itu yang bisa menyelematkannya dari Vonis 6 bulan penjara dan denda Rp.500 juta karena dianggap melanggar UU ITE sebagaimana putusan MA yang tidak bersandar pada Peraturan MA nomer 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan bila berhadapan dengan hukum.
Tapi bagi saya, kata yang berjidat besar. “Pasal karet tak perlu ada, sehingga negara tetap wibawa, kebenaran tak perlu ditanyakan kepada rumput yang bergoyang. Cukup dalam nyanyian Ebid G Ade.”
Saya tak habis pikir, paparnya lagi. UU ITE itu koq digunakan secara refresif. Tetapi nyatanya, fakta seringkali jadi fiksi. Jadi dongeng pengantar tidur yang berbiak turun-temurun yang bisa ditarik ke belakang ke jaman batu. Bahwa larangan jangan ada lagi modulasi sumbang yang aneh-aneh, hal itu jadi mimpi setiap warga sipil. Tetapi tetap saja ada pasal-pasal karet yang diiklankan, ada hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Kemudian ada lagi sebutan maju tak gentar membela yang bayar dan yang seru, adalah mafia peradilan. Kebenaran dibedakan dari klaster sosialnya. Pasal-pasal tidak absolut jadi dasar putusan bagi tangan hakim ketika ketuk palu.
Sampai kapankah kita berada dalam parodi pertunjukan sistem perundangan-undangan dan peradilan yang begitu melulu, dan yang kita terima sebagai satu hiburan dalam himpitan hidup dimana peran-peran negara selalu dipertanyakan. Bersamanya kita ikut terbahak lo, ketika semua chanel tv penuh padahal korbannya menangis, pengacaranya mendadak viral, koran-koran oplahnya naik. Kasus itu digoreng dan dirunning, sebab konon isunya orisinil, dan langka.
“Semuanya mendadak baik,”Dolkamad menyindir.
Komisi III DPR RI dalam waktu dekat, akan berencana merevisi Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 tahun 2016, setelah bercermin dari kasus yang menimpa Baiq Nuril Maknun. Kemudian surat pemberian amnesti untuk Baiq Nuril yang disampaikan Presiden Joko Widodo, yang konon akan dibahas Komisi III DPR RI pekan ini, komitmen Dolkamad dan si Jidat Besar sudah siap memantau.
“Mbok saya jadi mereka, saya akan gerpol sendiri, tak datangi fraksinya, komisinya, tak seret dari mejanya satu persatu dan saya yakinkan dia, bahwa kita tak perlu bertele-tele berurusan dengan soal kemanusiaan. Kecuali emang mereka tak punya nurani,” Dolkamad berpaling kesal, kemudian bayangannya raib di dinding tembok. (*)