Ini Alasan Kenapa Kampus di Sumenep, Rentan Jadi Persemaian Gerakan Radikalisme

Sumenep, Labumi.id, Pertumbuhan radikalisme diyakini semakin mengkhawatirkan sejumlah pihak, tidak terkecuali di Madura. Di kota-kota besar Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun PTS kini banyak dijadikan basis persemaian ideologi pemikiran garis keras.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut ada 10 Perguruan Tinggi Negeri, antara lain di Jakarta, Bandung dan Surabaya yang mahasiswanya mengikuti ideologi gerakan berbau radikal.

Mantan Sekretaris PCNU Sumenep Dardiri Zubairi menyebutkan jika Kampus STKIP dan Universitas Wiraraja Sumenep rentan disusupi gerakan radikal karena kedua kampus ini, tidak terletak di Pesantren dan mahasiswanya memiliki pemahaman agama yang minor.

“Karena rata-rata mahasiswa yang masuk ke kampus STKIP dan Wiraraja bukan dari lulusan pesantren. Jadi latar belakang pendidikan ilmu agamanya kurang,”katanya kepada labumi.id usai pembekalan mahasiswa baru STKIP PGRI Sumenep, (07/09/2019).

Menurut Dardiri salah satu strategi gerakan radikal yang disasar adalah mereka yang memiliki pengetahuan agama kurang. Orang-orang yang tidak memiliki akar keagamaan kuat, lalu masuk ke dalam kelompok radikal semangat keagamaannya dipastikan menyala tinggi. Tapi, karena tidak diimbangi dengan ilmu, akhirnya berbahaya dan bisa tersesat.

Sudah sejak Pemerintahan orde baru kampus menjadi persemaian ajaran radikalisme. Masa itu, kelompok tersebut menamakan dirinya sebagai kelompok tarbiyah atau usroh. Mereka membentuk perkumpulan-perkumpulan kecil yang mendoktrin para mahasiswa tentang agama yang keras.

Dia menjelaskan jika PKS merupakan hasil dari produk mahasiswa gerakan bawah tanah yang dilakukan pada masa orde baru. “Kalau sekarang gerakan radikal masih terus membesar di kampus atau di kota-kota besar, artinya pemerintah, kampus atau negara sudah agak terlambat mengantisipasi mereka,”paparnya.

Harus diakui, saat ini kampus menjadi sasaran radikalisme. Sebab kampus merupakan tempat strategis dalam mendidik calon pemimpin yang nanti akan mendiaspora ke sektor kehidupan lainnya. Entah ekonomi, politik, sosial dan budaya.

“Ketika mahasiswa sudah lulus lalu berkerja. Dipastikan dia akan mengembangkan pemikirannya yang radikal itu. Sebab cara ini sudah menjadi sistem sel. Mereka di kampus digodok sebenarnya bertujuan untuk mempersiapkan ketika mereka sudah keluar dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Ini sangat berbahaya,”tambahnya.

Jika mereka yang digodok itu kemudian aktif di suatu partai, kementerian atau di posisi strategis pemerintahan akan semakin berbahaya karena kebijakan-kebijakannya dipastikan mengarah kepada ajaran yang didapatkan dalam paham radikalisme.Untuk hal itu, Dardiri lalu menyarankan agar kampus-kampus mulai memproteksi mahasiswanya sedari dini dari kelompok radikal.

Dia menyatakan jika perkembangan pemikiran garis keras bergerak sangat laten, tapi tidak dapat dientengkan. Meskipun di Sumenep pernah dibubarkan, tetapi gerakan itu lebih banyak underground atau gerakan bawah tanah.

Dari pengakuan Dardiri ada satu, dua sampai tiga orang yang potensial bisa masuk ke garis keras, jika dilihat penampilan dan argumentasinya yang berbeda dari pandangan umum. Jadi untuk membedakan mana yang mengikuti ideologi garis keras, tinggal diamati pilihan pakaian maupun obroan-obrolannya. (Khairul Amin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *