LaBumi.id, Sudah 17 tahun berlalu, kematian aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib yang di bunuh di dalam pesawat pada 7 September 2004.
Munir yang datang untuk memenuhi salah satu LSM di Belanda, organisasi antar gereja untuk kerjasama pembangunan, ICCO, yang juga untuk melanjutkan studinya di Universitas Utrecht, sekaligus akan mengisi suatu seminar di Frankfurt Jerman.
Hari itu dimana dia gugur karena racun arsenik yang tersisa di lambungnya sebanyak 465 mg, sudah ditunggu oleh kalangan aktivis di Belanda.
Munir ketika itu berangkat dalam keadaan sehat, sama-sama minum susu cokelat dengan istrinya ketika masih di Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian perutnya merasa mulas ketika pesawat garuda yang ditumpanginya transit Bandara Changi, Singapura.
Kondisinya semakin buruk, karena terus-terusan muntah, kejang hingga akhirnya meninggal di pesawat persis di atas Hongaria. Hasil otopsinya menyebutkan, jika racun arsenik dipastikan bekerja di tubuhnya berselang 3-4 jam kemudian, sebab 3 jam setelah Singapura Munir meninggal. Racun diduga hanya terjadi dalam perjalanan Jakarta-Singapura.
Hingga kini, sudah 17 tahun lamanya kasus kematiannya masih jadi misteri. Terbununuhnya Munir, merupakan pembunuhan politik lewat peracunan, demikian di tulis dalam buku Munir Sebuah Kitab Melawan Lupa.
Presiden Joko Widodo sebelumnya pernah berjanji bahwa pemrintah akan tetap mengusut tuntas misteri kematian Munir. Hal itu diucapkan Presiden dihadapan sejumlah pakar dan praktisi hukum.
Para pegiat Ham menilai pemerintahan Jokowi dengan apatis. Mereka meyakini pemerintah tidak serius mengungkap aktor intelektual kasus pembunuhan Munir.
Bahkan dalam banyak kesempatan aparat teras kepolisian menyatakan mereka akan mengungkap kasus kematian Munir jika sudah mendapatkan bukti atau fakta hukum baru.
“Kalau tidak ada fakta baru mau diapain lagi, mandek gitu saja, ditutup tidak, dilanjutkan juga tidak,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, di lansir dari BBC dua tahun silam.
Dalam kasus kematian Munir, tiga orang memang telah diadili, termasuk seorang eks pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto serta mantan pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi PR.
Namun proses persidangan ini tidak menyentuh terduga aktor utamanya, seperti diungkap laporan tim pencari fakta kasus ini, dan disuarakan oleh para pegiat HAM.
Dalam kasus pembunuhan Munir, Muchdi ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, tetapi dia dinyatakan bebas oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan, akhir 2008.
Sementara, Pollycarpus – meninggal 17 Oktober 2020 – yang divonis bersalah dan dihukum penjara 14 tahun, kemudian dibebaskan secara bersyarat dan bebas tiga tahun lalu.
Sejumlah aktivis, menilai bahwa pengungkapan kator pembunuhan pegiat HAM Munir, dikhawatirkan terhenti karena kasusnya sudah kedaluarsa. Karena sesuai KUHP, tuntuan perkara dengan hukuman pidana mati dan seumur hidup akan kedaluarsa setelah 18 tahun.
Artinya, pengungkapan siapa dalang utama kasus pembunuhan Munir, akan berakhir di tahun depan, yaitu 2022 dan perkaranya sudah terhitung jadi pembunuhan berencana biasa. (Cha)