Ironi Kabinet Indonesia Maju

Menggunakan kemeja putih dan celana kain hitam, Terawan Agus Putranto masuk ke pelataran Istana Kepresidenan sambil memegang gawai di tangan kiri. Tangan kanannya melambaikan tangan berulang kali.

Hari itu, Selasa 22 Oktober, ia dipanggil Presiden Joko Widodo. Publik menduga ia akan dijadikan menteri kesehatan dalam kabinet baru Jokowi. Namun, saat itu mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat itu tak mengatakan apapun, ia hanya mengubah gesture sekali dengan memberi acungan jempol.

Setelah bertemu Jokowi, Terawan baru buka omongan terkait penunjukan sebagai menteri kesehatan. Ia pun memutuskan pensiun dini dari karier dokter militernya. “Saya tinggal semua. Saya harus fokus untuk membantu Bapak Presiden dalam kabinet ini,” kata dokter berpangkat Mayor Jendral itu.

Hari berikutnya, Terawan dicegat wartawan. Penyebabnya bukan lagi soal penunjukannya sebagai menteri, tetapi terkait surat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tertanggal 30 September 2019 yang dikirim ke Presiden Jokowi.

Surat rahasia itu berisi keberatan MKEK apabila Terawan dijadikan menteri kesehatan karena pertimbangan masalah etik. Tapi surat itu bocor ke publik.

“Yang berkasus itu siapa? Biarin aja. Saya kan enggak pernah nanggapi,” kata Terawan menanggapi surat itu. “Nggak perlu [memenuhi panggilan MKEK]. Kita [saya] kan memang bukan waktunya. Ada tata caranya. Saya waktu itu kan militer.”

Kasus yang dimaksud MKEK dan Terawan itu merujuk pada polemik metode cuci otak dengan Digital Substrction Angiography (DSA) untuk pengobatan pada tahun 2018. Pengobatan itu dilakukan Terawan dan diklaim bisa menyembuhkan stroke.

Sikap Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) saat itu tegas, selama belum ada hasil uji klinis terhadap metode ‘cuci otak’ Terawan, maka penggunaannya harus dihentikan sementara. Sedangkan MKEK IDI menyatakan mereka juga menunggu hasil penelitian Kemenkes untuk bisa mengambil langkah berikutnya.

Karenanya, MKEK saat itu hanya menyebut pelanggaran etik Terawan terkait Pasal 4 dan Pasal 6 Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Dua pasal itu memuat pelarangan dokter memuji diri sendiri dan senantiasa berhati-hati mengumumkan dan menerapkan pengobatan baru yang belum teruji kebenarannya.

Setelah itu MKEK memanggil tiga kali Terawan, tapi ia tidak hadir. Hasilnya, putusan sanksi pemecatan dari MKEK keluar pada 26 Februari 2018.

Dalam perkembangannya, pada bulan April 2018, sanksi terhadap Terawan ditangguhkan. Saat itu DPR meminta agar Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Konsil Kedokteran Indonesia meninjau ulang masalah pemecatan Terawan.

Pengkajian kemudian dilakukan oleh Kemenkes dalam tim Health Technology Assessment (HTA). Bulan Desember 2018, tim ini masih belum terlihat buah kerjanya. Metode ‘cuci otak’ dengan Digital Substrction Angiography (DSA) untuk pengobatan dari Terawan kemudian menggantung begitu saja.

Ketua Dewan Penasihat MKEK Prijo Sidipratomo tak mau menjawab soal surat dan sanksi terhadap Terawan ini, sedangkan Broto juga tak membalas pertanyaan Tirto melalui pesan singkat ataupun panggilan telepon.

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Slamet Budiarto tak mau menjawab perihal status Terawan sekarang. Dia mengaku tak tahu mengenai surat dari MKEK dan mengklaim seharusnya masalah Terawan adalah urusan internal IDI semata.

“MKEK harusnya tidak etis membuat surat tersebut. Pelanggaran kodeki (kode etik kedokteran Indonesia) tidak terkait dengan jabatan seseorang,” kata Slamet kepada Tirto.

Terawan sendiri sampai sekarang tidak mengakui metode cuci otak-nya bermasalah. Pada November 2018, dia mengklaim metodenya sudah mengantongi izin praktik dari Kemenkes.

“Sebenarnya sudah, kalau tidak memberikan [izin] pasti ada surat keputusan tidak boleh melakukan,” kata Terawan di Jakarta usai menandatangani kerja sama pengobatan DSA untuk 1.000 turis Vietnam pada Senin (12/11/2018).

Soal etik Terawan sebenarnya berpengaruh bagi pelayanan kesehatan di Indonesia. Menurut UU Praktik Kedokteran, yang bertugas mengatur, mengesahkan, menetapkan, serta membina, dokter dalam adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Masalahnya, di dalam KKI pun ada berbagai unsur keanggotaan. Salah satu unsur tersebut adalah Departemen Kesehatan di bawah naungan Kemenkes yang kini jadi kekuasaan Terawan.

Kendati begitu, Slamet Budiarto tak mau berkomentar banyak soal kemungkinan Terawan menggunakan posisinya untuk melegalkan praktik cuci otak atau pengobatan lainnya yang belum teruji di kemudian hari. Dia malah memberi pertanyaan retoris yang terkesan mendukung praktik Terawan.

“Mau tanya, apakah ada pasien yang komplain? Atau menuntut?” kata Slamet. Ketika ditanyakan lagi soal status Terawan, dia mengelak, untuk ke sekian kalinya: “Saya nggak berwenang menjawab. Silakan hubungi Ketum PB IDI.”

Padahal dalam Pasal 5 ayat (2) di dalam UU Kesehatan, pasien berhak memperoleh pelayan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Metode ‘cuci otak’ Terawan jelas tidak memenuhi standar keamanan karena belum ada uji klinis yang diakui Kemenkes. (Felix Nathaniel/tirto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *