Sebagai pesantren yang dikenal pesantren modern, Al-Amien Parenduan yang didirikan pada tahun 1952 oleh Kiai Djauhari Chatib memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh model pesantren modern lainnya, terutama pesantren Gontor sebagai rule of model di mana inspirasi pesantren ini awalnya dibuat. Keunikan itu adalah dikembangkannya kurikulum berbasis tarekat (sufisme) sebagai salah satu fondasi membentuk karakter santri-santrinya.
Jauh sebelum pesantren ini menasbihkan dirinya menjadi pesantren modern, adalah Djauhari Chatib yang meneruskan tongkat estafet kepemimpinan ayahnya, kiai Chatib, yang awal mula memperkenalkan tarekat ini di desa Parenduan. Dalam catatan Martin, (Martin, 1995: 91-116) tarekat ini masuk pada sekitar tahun 1930-an dengan jalur langsung dari Mekah, bukan dari Jawa Barat seperti yang diketahui pada tahun 1920-an di Cirebon. Sebagai seorang muqaddam (guru tarekat dalam tradisi Tijaniyah), kiai Djauhari Chatib ditemani oleh kiai Chozin lalu menyeleksi para kader Tijaniyah di Parenduan dengan perjuangan yang tidak mudah. Dalam sejarahnya, seperti penuturan KH. Syaifuddin Kudsi, sempat beberapa kali beliau mendapat serangan dan penolakan dari pesaing tarekat yang sudah eksis sebelumnya ataupun dari kalangan Syariah yang merasa ada aliran baru dalam lingkungan mereka.
Dengan modal sosial yang sudah mapan, karena ketokohan, kealiman dan pesantren yang didirikannyamaka segala rintangan dan serangan yang menghantam tarekat Tijaniyah dapat dilaluinya. Saat-saat yang palingmenentukan dalam perkembangan tarekat ini adalah proses seleksi yang ketat dalam menentukan kadernya. Sekedar diketahui, dalam tradisi tarekat Tijaniyah ada hierarki otoritas yang berkaitan dengan kualitas-diri danperannya. Pada level teratas ada wilayah khalifah di mana level ini hanya dimiliki oleh syaikh saja. Kemudian muqaddam sebagai wakil dari khalifah dalam menyebarkan tarekat. Mursyid yang membimbing para pengikut tarekat. Ikhwan adalah mereka yang mengamalkan ajaran tarekat dan terakhir muhibbin adalah orang yang sekedar suka atau cinta pada tarekat ini. Lihat tabel berikut ini:
Pada praktiknya, perbedaan level-level tersebut juga mempengaruhi bacaan amalan (dzikir) yang harus di-riyadhahkan (diamalkan dan dibaca). Dan ritual itu sudah ditetapkan dalam buku pedoman yang ditulis baik oleh khalifah sendiri atau muqaddam dan mursyidnya. Inti dari riyadah itu adalah bagaimana seseorang dapat membersihkan hati mereka dan perbuatannya dari dosa-dosa yang diperbuat dengan mengikuti teladan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. (M. Yunus Hamid: 2017).
Sesuatu yang penting dari perjalanan tarekat ini adalah bagaimana ia bersinergi dengan pesantren yang dikembangkan oleh kiai Djauhari sendiri di Al-Amien. Para santri disiapkan untuk menjadi bagian dari keberadaan tarekat ini. Melalui sistem pembelajaran di pesantren, para santri diberikan amaliyah-amaliyah dzikir dalam aktivitas kesehariannya berupa pembacaan sholawat fatih dan istighfar. Kedua amalan dzikir ini merupakan ritual pokok di dalam tarekat Tijaniyah. Sepeninggal kiai Djauhari, semangat tarekat ini lalu dilanjutkanoleh putra-putranya, terutama kiai Tidjani yang juga seorang mursyid. Tentang pentingnya semangat sufi atau tasawuf ini, ada beberapa karya yang dapat dibaca dan ditulis sendiri oleh dua figur utama putra kiai Djauhari ini, yaitu oleh kiai Idris Djauhari dan Tijani Djauhari. (Ihwan Amalih, 2014: 119-144).
Saat ini, kepengasuhan pesantren Al-Amien dipegang oleh kiai Fauzi Tidjani (cucu kiai Djauhari sendiri). Menguatkan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya, kiai Tidjani, semangat tarekat ini terus digalakkan bahkanlebih keras lagi. Dalam tausiyah (nasehat keagamaan) belum lama ini, yang disampaikan dalam forum pelepasan santri Al-Amien yang telah menyelesaikan pendidikan pondoknya, beliau mewajibkan para santri untuk meng-amaliyahkan shalawat fatih dan istighfar, jika tidak melaksanakan maka tidak dianggap sebagaisantri Al-Amien lagi. Dalam pernyataan beliau, “ajaztukum untuk kalian mengamalkan sholawat fatih baik untuk dirimu dan keluargamu. Itu adalah pengikat dirimu dengan para masyaikh dan pondok Al- Amien”.
Dengan mengamalkan shalawat fatih dan istighfar, para santri ini sebenarnya sudah masuk pada level muhibbin, yaitu level terbawah dari tarekat Tijaniyah. Dan jika para santri ini memiliki bakat dan potensi, makamereka bisa masuk pada level di atasnya, yaitu level ikhwan yang tentu saja ini merupakan levelnya para pengamal atau pengikut ajaran dari jaringan tarekat Tijaniyah. Karena seperti kesaksian dari para ikhwan ini, untuk menduduki level yang lebih tinggi maka mereka harus mengalami mimpi dengan mursyid atau bahkan dengan Nabi Muhammad sebagai tanda bahwa mereka telah benar-benar menyatu dan mengikatkan diri merekadalam aliran ini. Tentu saja seleksi keanggotaan tarekat Tijaniyah ini agak berbeda dengan misalnya, tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah yang tidak ketat dalam penerimaan anggota. Tarekat Tijaniyah sangat mempertimbangkan proses keseriusan dari anggota atau jama’ahnya. Jika amaliyah dzikir yang dilakukan tidak konsisten (istiqamah) maka kenaikan level itu tidak akan pernah terjadi. Mereka hanya tetap berada pada level muhibbin saja tidak naik ke level ikhwan. Unsur pengikatan diri ini menurut mereka merupakan sesuatu yang sangat penting. Sama pentingnya dengan membaca syahadat (kesaksian) saat seseorang akan masuk Islam.
Terlepas dari level-level atau maqom keanggotaan dalam tarekat Tijaniyah ini, pengintegrasian amaliyah dzikir tarekat dengan sistem pembelajaran di pesantren telah membedakan model pengembangan pesantren modern al-Amien dengan pesantren Gontor. Bahwa pesantren Al-Amien merupakan bagian dari jaringan pesantren Gontor seperti beberapa penelitian yang dilakukan (Castles , 1966: 30-45; Amin Hady, 2012) dengan mendasarkan pada faktor historis, alumni dan kesamaan penamaan dalam sistem pendidikannya, tapi dalam strategi pengembangan kurikulumnya tidak dapat dikatakan 100 persen sama dengan pesantren Gontor. Hal ini didasari bahwa sebelum Al-Amien berdiri sebagai sebuah pesantren modern, kiai Djauhari Chatib sebagai pendirinya, telah terlebih dahulu menjadi muqaddam dari tarekat Tijaniyah di Parenduan. Bahkan demipengembangan ajaran tarekat ini beliau melepaskan kegiatan politisnya seperti membubarkan Masyumi, partai yang beliau dirikan, agar para kader Tijaniyah tidak terlibat di dalam kegiatan politik dan hanya fokus padakegiatan spiritual-keagamaan.
Dan jika sampai saat ini, pesantren al-Amien tidak terlalu riuh dengan partai politik maka hal itu bukanlah sesuatu yang aneh, karena kiai Tidjani telah memberikan fondasi yang kuat pada pesantren ini pada awal pengembangannya. Perjuangan dan dedikasi kiai Djauhari ini kini dapat dirasakan tidak hanya oleh kalangan keluarga beliau di pesantren Al-Amien tapi masyarakat Parenduan secara umum. Parenduan adalah pusat di mana tarekat Tijaniyah menjadi kegiatan keagamaan dengan dimensi sufistik yang kuat. Masjid Gema sebagaimasjid besarnya masyarakat Parenduan menjadi wahana dari amaliyah dzikir dari tarekat Tijaniyah setiap minggunya pada hari Jumat sore. [ ]
Penulis: Direktur Madrasah Moderasi LPTNU Sumenep