Imajinasi pada kursi, apalagi di musim Pemilu Legislatif dan Pilpres lalu, selalu menyisakan kenangan untuk dicandai kembali. Apa yang terjadi pada pertunjukan Adminus Anderskor yang bersyahwat social claimber patutlah menjadi teladan bagi kita semua yang berfantasi dalam hidupnya untuk duduk di kursi. Orang dalam kumpulan massa banyak berduyun datang membawa upeti, oleh-oleh, yang merknya beragam macam. Ada pekerjaan tender proyek, jaminan dalam lelang jabatan, saham, investisai seumur hidup, tambang, migas sampai pada kelas yang similiekete.
Kursi selalu menyimpan imajinasi tersendiri. Memang. Ibarat sumber mata air yang tidak pernah habis-habisnya ditimba untuk di minum dan dikeruk sedalamnya. Ia selalu melahirkan syahwat buruk, untuk terus diambil. Bahkan dikapitalisasi, diperebutkan di ruang-ruang paling private dan publik.
Teater mengajarkan Agus Susilo – Rumah Mata Medan – aktor monolog malam itu, membangun kesadaran teaternya untuk terus bergerak. Menyongsong garis tangan kehidupan dengan seluruh kepastian takdir yang digariskan kepadanya. Malam itu, disaksikan ratusan penonton Agus menjadikan dirinya sebagai ‘homo teatrikus’ yang sel-sel hidupnya adalah teater itu sendiri.
Pertunjukan monolog Edminus Anderskor, dibuka oleh suara parau berat memanggil-manggil; Edminus! Ehm… Edminus… Ehm. Seorang lelaki gondrong, setengah tua yang cacat, kedua kakinya lumpuh. Suaranya yang berat mengisyaratkan beban derita yang begitu dalam. Terlalu asin garam kehidupan yang diguriskan didahinya yang gelap. Namun dari kedua matanya yang tajam, dan suaranya yang parau memanggil-manggil. Kita tahu ia menyimpan sebuah keyakinan, bahwa “setiap manusia harus menentukan takdirnya sendiri”. Keyakinan seperti Albert Camus berkata; “jika hidup adalah perjalanan takdir, maka perjalanan hidupku menolak takdir.” Agus pun terus beringsut di antara penonton, dengan keranjang sampah dipunggungnya.
Kelak ketika Edminus menjadi Presiden kita ikut tergoncang, bagaimana kesadaran kepada hal-hal yang manusiawi bergeser. Dengan bibirnya yang gombal, busung dadanya menggodamu tangannya yang pragmatis mecumbui kita dengan janji-janji kebahagian yang semu. Tumpukan kursi yang berebut dengan sampah plastik, kaleng bekas dan sampah lainnya. Seperti menunjukkan kepada kita, kekuasaan adalah sebuah naluri yang bisa tumbuh dimana saja. Ia bisa lahir bahkan dari tempat pembuangan sampah. Dan jika tidak tepat mempergunakannya kekuasaan juga akan melahirkan dan menjadi sampah.
Begitulah Edminus terus menyibak-nyibak diantara penonton. Menjelaskan keberadaan dirinya di tengah orang-orang. Seolah mengatakan tidak ada yang pasti dalam kehidupan kecuali melawan. Melawan segala keterbatasan dirinya dan keadaan yang tidak berpihak.
Edminus terus merayap merayakan penderitaannya, menaiki kursi demi kursi, hingga puncak ketinggian tumpukan kursi.
“Edminus… Ehm…
Harus jadi presiden!”
Palu ‘Kehendak Berkuasa’
Edminus terus naik. Menegaskan bahwa setiap manusia harus berusaha naik level hidupnya. Susah payah, mengerang dan sesekali menarik nafas berat. Nyata dikepala kita, level kemanusiaan menjadi tantangan tak ada habisnya, menguras airmata dan derita.
Dengan sangat cerdas Agus Susilo aktor monolog itu, membagi setiap level itu dengan dihantar teks dialog yang terus naik tensi emosinya.
Level demi level sudah dilewati, sampailah ia dilevel yang ketiga Edminus mulai mengambil palu. Palu yang dalam praktek psikoanalisa menggambarkan sebuah semangat ego manusia untuk meraih hasratnya.
Hasrat kehendak berkuasa sebuah mesin psikologis yang menggerakkan seluruh kehendak kekuasaan manusia.
Tiba-tiba nietszche hadir dalam diri Edminus, menjelma Zharatusra dibukit Golgota. Ia berbicara kebenaran, politik dan kekuasaan yang mengebiri kebebasan.
Edminus harus jadi presiden.
Edminus yang bisu, yang tidak genap berbicara, dan ketika disuruh pidato hanya wa…wa…wa… Dan dia disuruh pindah. Edminus yang hanya anak seorang pemulung lumpuh.
Tapi Edminus menyimpan palu. Palu kekuasaan yang sejati dari kebebasan hasrat hidupnya.
“Edminus, kau harus menjadi Presiden!”
Terus merayap ke kursi yang paling tinggi.
Tubuh yang tubuh
Bagaimana teater edminus menghadirkan dirinya (pertunjukan)?
Tubuh dalam teater selalu menjadi medan perhatian yang menarik. Sebab dari tubuh kita seperti membaca kenyataan diri kita masing-masing. Berdialog tentang luka kehidupan.
Dari tubuh juga akhirnya kita mendapatkan sebuah pencerahan, menghadirkan ulang kemanusiaan, dan mengafirmasi kembali kehadiran.
Agus Susilo dengan sangat tepat (kalau tidak mau menyebut mengeksploitasi dirinya) menghadirkan sosok lelaki bapak edminus yang lumpuh. Apakah itu sesuatu hal yang wajar? Tentu saja wajar. Sebab teater sejatinya adalah menemukan kembali diri aktornya. Dan malam itu, saya seperti menemukan Agus Susilo sebenarnya. Dia seperti sebenarnya agus dengan seluruh keterbatasan dirinya. Sedangkan edminus adalah seluruh anak gagasan yang terus bergejolak dikepalanya.
Jika selama ini teater selalu menghadirkan monolog dengan keterampilan skill keaktoran, bagaimana ia berubah dari satu tokoh ke tokoh lain, juga ketangkasan memainkan property. Agus susilo justru hadir dengan gerak-gerak nanggung dengan power dan batin yang kuat. Tubuhnya terus bergetar. Memainkan emosi penonton sepanjang pertunjukan. Sehingga didalam permainan batin itu, penonton diobrak-abrik kesadaran tubuhnya, emosi diambangkan kedalam kemanusiaan.
Kita seperti melihat dua (Agus Susilo) dalam satu bapak edminus. Apakah ia sedang main atau sebenarnya hidup dalam permainan aktor? Kita dibiarkan bertanya-tanya sendiri.
Walaupun saya percaya, teater tidak cukup hanya mengajak orang larut dalam kebaperannya.
Teater tragis
Bagaimana seharusnya teater dihadirkan? Sebuah pertanyaan mendasar tapi tetap relevan.
Teater Edminus Anderskor saya kira berbeda dengan teater klasik (Yunanian) dalam menghadirkan tragedi. Tragedi melulu sebagai sebuah kenyataan di luar (realitas pertama), sementara teater tetap berada pada kenyataan yang seolah-olah akting panggung semata.
Teater Edminus menghadirkan teater yg sebenarnya tragis. Tragis dalam terminologi mengalami yg sesungguhnya. Sungguh kita seperti dibawa kedalam situasi rasa kaget dan cemas disanalah justru tragedi hadir sebagai realitas yg sebenarnya.
Ketika keterbatasan dilewati sebagai sebuah loncatan momentum kehadiran. Peristiwa bergerak menjadi emosional.
Di sini saya pikir, kita seperti dihadapkan pada satu kenyataan abnormalitas (irrasionalitas). Emosi kemanusiaan kita dibawa pada peristiwa ambang kehidupan; mungkin dan tidak mungkin, nyata dan tidak nyata, benar dan tidak benar.
Ketika pikiran terganggu dan menolak kenyataan yang terlihat. Begitulah Edminus masuk kedalam penonton, dan runtuhlah seluruh harapan-harapan dramaturgis. Dimana sebuah pertunjukan teater mesti diukur dengan rumus-rumus teori yang pakem.
Saya hanya merasa dibawa ulang alik antara pertunjukan dan kehidupan sang aktor, Agus Susilo.
Ke depan saya pikir masih banyak kemungkinan mengembangkan pertunjukan edminus anderakor dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih spesifik, lokal, dan jelas penciptaannya. Agar setelah panggung edminus memasuki kehidupan yang sebenarnya. Agar teater tidak hanya mengulang praktek-praktek kursi kekuasaan yang pseudotik semata. (*)
Mahendra, Direktur dan Sutradara di Language Teater, dan Aktivis Lingkungan