Kolom  

Pendidikan Ala Rimba dI Dunia Pendidikan Kita

FOTO LABUMI.ID / VECTEEZY
PENDIDIKAN ALA RIMBA DI DUNIA PENDIDIKAN KITA

Jika bermimpi tentang masa depan pendidikan kita, dengan realitas benang kusut seperti saat ini, mimpi seperti apakah yang dapat kita songsong nantinya?

Dalam realitasnya, praktisi pendidikan, termasuk di dalamnya adalah guru, pelaksana lembaga pendidikan, tokoh masyarakat pemerhati dunia pendidikan, seolah menjadi pihak yang paling tahu bagaimana menentukan solusi tepat guna bagi para anak didik. Sehingga lalai memperhatikan apa sebenarnya yang paling dibutuhkan oleh anak didik di medan pendidikan.

Dimulai dari yang paling sederhana, misalnya, materi apakah yang paling cocok untuk diprioritasikan bagi mereka? Metode pembelajaran seperti apa yang tepat dipakai untuk mereka? Guru dengan kualifikasi dan kompetensi seperti apa yang dapat mendidik mereka? Dan fasilitas belajar apa saja yang mereka perlukan? Juga, buku-buku penunjang seperti apa yag tepat untuk mereka?

Sebagai orang yang lebih dewasa dari pada anak didik, para praktisi pendidikan – utamanya pemerintah bidang pendidikan – selalu menganggap pihak mereka-lah yang paling tahu semua jawaban dari pertanyaan di atas. Tanpa melihat lebih dekat bagaimana dampak positif – negatif serta seefektif apa kebijakan yang mereka tentukan bagi anak didik.

Bukan hal yang aneh lagi jika anak didik menjadi obyek eksperimen dari beberapa kebijakan pemerintah. Mulai dari penetapan model pelaksanaan Ujian Nasional berikut standar nilai kelulusannya yang kemudian melahirkan banyaknya realitas ketidakjujuran di kalangan pendidik dan anak didik lantaran mengejar target kelulusan, hingga beraneka macam bentuk Lembar Kerja Siswa (LKS) yang menjadi ajang kompetisi pebisnis buku bidang pelajaran.

Hasil apakah yang telah dipetik oleh berbagai kebijakan yang eksperimental ini? Mungkin akan disebut sederet prestasi nasional – internasional dari beberapa gelintir siswa yang berlaga di ajang olympiade sains, debat bahasa asing hingga kreativitas teknologi super modern.

Tetapi, tak dapat kita pungkiri, bahwa lebih banyak anak didik kita yang terlibat provokasi tawuran, demonstrasi kontra produktif, terjebak dalam labirin dunia narkoba hingga seks bebas dan setiap modus kriminalitas. Hampir semua aksi kriminalitas disentuh kaum pelajar kita. Tak terkecuali anak sekolah dasar (SD).

Apakah yang salah sambung dalam dunia pendidikan kita?

Kalau ditarik pada lingkup sosial, maka keluargalah yang paling bertanggung jawab dengan pembentukan karakter pribadi anak. Tapi lembaga pendidikan-lah sebagai partner utama keluarga dalam hal ini.  

Akan tetapi, sering kita dapati, para orang tua kemudian berlepas tangan lantaran mereka menganggap bahwa anaknya akan baik-baik saja dalam pengasuhan sekolah. Sementara bagi para guru, dalam 24 jam sehari semalam, hanya tidak lebih dari 7 jam anak didik bersama guru. Selebihnya, atau 17 jam-nya lagi adalah tanggungan orang tua.

Mari kita sadari bersama, bahwa anak adalah tanggung jawab utama orang tua, baru kemudian gurunya. Realitasnya, pada usia pasca SD, seorang anak justru semakin membutuhkan pengawasan. Misalnya, bagaimana ia di sekolah, siapa temannya, apa saja kegiatan intra ekstra yang diminati dan diikuti anak, dihabiskan untuk apa saja uang jajannya hingga apa hobby si anak.  

Semakin anak beranjak remaja hingga usia pra-dewasa (di tingkat SMA), pengawasan orang tua justru semakin diperlukan. Karena pada fase inilah seorang anak sedang mencari jati dirinya, mencari figur idola dan senang mencoba sesuatu yang baru. Sering kali, pada fase inilah para pelajar menjadi orang muda yang rusak dan sulit dibina.

Kemudian mereka bertemu dengan siklus dunia pendidikan yang membosankan, tidak menantang, terlalu rutin, kering kreativitas dan tanpa harapan. Pada titik ini anak didik mengalami frustasi atas pendidikannya sendiri. Dan mereka akhirnya berpikir bahwa sekolah itu adalah penjara, bukan jalan menuju pencerahan berpikir, bukan jalan menuju pembentukan akal budi yang luhur.

Maka kemudian, seseorang memasuki dunia pendidikan di  sekolah lebih banyak dilakukan karena sudah dianggap lumrah saja, tanpa ada greget. Kalaupun ada cita-cita, lebih mengarah pada sesuatu yang materialis semacam jenis pekerjaan, jabatan, gelar hingga jaminan materi di masa depan. Seolah sekolah bukanlah upaya mendidik manusia agar dapat memanusiakan dirinya dan orang lain.

Ketika berada dalam lingkungan keluarga, kebanyakan orang tua bersikap merasa paling tahu yang terbaik bagi masa depan anak. Sehingga mereka tidak pernah merasa perlu untuk bertanya tentang keinginan anaknya. Hukum rimba kemudian diterapkan. Siapa yag berkuasa (orang tua), dialah yang menentukan segalanya.

Di sekolah, para guru, bersikap sama. Merekalah yang merasa paling tahu bagaimana cara membuat anak pintar, menentukan kegiatan yang paling penting, pelajaran yang harus diprioritaskan penguasaannya, hingga buku penunjang pelajaran yang paling tepat untuk mereka. Lagi-lagi, hukum rimba yang diterapkan. Anak didik adalah kelinci-kelincinya. Para guru adalah singanya. Jika berani melanggar, berhadapanlah dengan eksekusi.

Dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat pendidikan (guru dan siswa) berhadapan dengan kebijakan pemerintah. Sehingga para guru lupa untuk mendidik anak didiknya menjadi orang yang beradab dan bermanfaat. Para guru disibukkan dengan ajang kenaikan pangkat dan gaji, dengan target nilai kelulusan, dengan tim sukses jelang Ujian Nasional, dengan aneka bantuan kesejahteraan serta aneka atribut program pemerintah yang tidak berorientasi dinamisasi anak didik.

Terakhir, kemuliaan budi pekerti anak didik tidak menjadi muara akhir dari tujuan pendidikan kita. Hatta pendidikan berkarakter atau berbasis budi pekerti telah menjadi slogan dimana-mana.

Kapan saatnya hukum rimba tidak diterapkan lagi di duia pendidikan kita kalau bukan sekarang?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *