Kenapa Festival Garam Ditolak Warga Lokal, Ini Alasannya

Sumenep, Labumi.id ; Festival garam yang diinisiasi pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) untuk menyemangati bertumbuhnya agenda visit 2019  memantik reaksi negatif dari warga lokal, khususnya warga Desa Pinggirpapas dan Karanganyar.

Warga di dua desa ini menganggap agenda visit Sumenep 2019 yang mengangkat Festival Garam sebagai upaya pengaburan fakta yang digelisahkan masyarakat. “Festival garam ini, jelas bertujuan untuk mengaburkan keluh-kesah yang dialami masyarakat,”kata Ketua Komunitas Paelan Pinggirpapas Mohammad Junaidi kepada labumi.id, Kamis (14/08/2019).

Ia mengatakan saat ini warga di desanya tengah berada dalam kemelut ketidakpastian perihal harga garam yang turun drastis bila dibangdingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah jangan justru memberi hiburan murahan yang manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh masyarakat.

Agenda visit 2019 yang bertajuk Festival Garam, sejatinya membawa visi perubahan untuk perbaikan warga lokal. Warga Desa Karanganyar dan Pinggirpapas yang memiliki andil besar terhadap pasokan garam nasional, tapi harga garam tidak ada jaminan dari Pemerintah, masih rentan dikibuli baik oleh tengkulak maupun negara.

Alumni Universitas Tribuana Tunggadewi Malang ini menegaskan, kalau tujuannya untuk mengkritisi kebijakan impor garam, atau ingin meningkatkan harga tawar garam lokal, hal itu baik dan sangat didukung oleh warga.

“Sementara bentuk acaranya seperti apa, kita belum tahu. Apa tabur garam atau pameran foto-foto tentang garam? Tidak ada. Tapi kalau festival garam itu diarahkan ke upacara adat nyadhar yang pelaksanaannya tanggal 16-17 Agustus ini, berarti suatu sikap kelancangan terhadap leluhur dan pini sepuh kami,” jelasnya.

Sementara Set Wahedi, pekerja budaya asal Pinggirpapas mengingatkan untuk lebih berhati-hati dalam melihat dan memberlakukan suatu kebudayaan. “Kita itu kadang kurang respek dengan kebudayaan orang lain. Tapi dari tanggal pelaksanaan, kan hari ini barengan dengan pelaksanaan upacara nyadhar. Kalau festival garam diarahkan ke upacara nyadhar, yaa itu ceroboh,” kata Set Wahedi.

Alumni Pasca UGM ini berharap festival garam itu tidak ada kaitannya dengan upacara nyadhar. Menurutnya, nyadhar itu bukan sekadar upacara adat semata. Akan tetapi juga merupakan bentuk spritual masyarakat Pinggir Papas dalam menyatakan rasa syukurnya.

“Upacara nyadhar itu unik. Dia mamadukan khazanah lokal dan nilai-nilai keagamaan yang menciptakan tatanan harmoni masyarakat Pinggir Papas. Karena itu, kita perlu berhati-hati membicarakan adat satu masyarakat. Jangan sampai niat baik kita malah menyinggung perasaan pemangku adat,” urai Set.

Pekerja Seni Budaya Mahendra kepada labumi.id mengungkapkan Festival Garam memanfaatkan lokal jenius Pinggir Papas yang dijajakan dalam keadaan vulgar dalam agenda Visit 2019. Potensi apapun yang dilihat Pemerintah baik untuk dieksploitasi, pasti digarap. “Sebetulnya itu baik, asal dilakukan dengan benar dan manfaatnya betul-betul dirasakan warga di sana,”pungkas Mahendra. (Khairul Amin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *