Ini Alasan Aktivis Lingkungan, Menyebut Pemerintahan Jokowi Otoriter

Labumi.id, Sidang Rakyat yang digelar langsung secara daring di Kanal Youtube dan Facebook oleh aktivis lingkungan dan diikuti ribuan komunitas di seluruh Indonesia, secara aklamasi menolak Undang-Undang Minerba yang disahkan oleh DPR pada tanggal 12 Mei 2020 lalu. Dari sembilan fraksi di DPR, mayoritas menyetujui perubahan Undang-Undang Nomer 4 tahun 2009 tentang Minerba. Hanya Fraksi Partai Demokrat yang menolak, fraksi dari partai lainnya seperti Nasdem, PDI Perjuangan, PAN, PKS, Golkar, serta Gerindra menyetujui.

Asfinawati dari YLBHI menyebut disahkannya Undang-Undang Minerba sebagai indikator kembalinya pemerintahan yang otoriter. Padahal masyarakat saat ini, sudah muak dengan korupsi, nepotisme dan kolusi yang dibalut atas nama Undang-Undang.

Widodo Sunu Nugroho, Sekretaris Urut Sewu Bersatu (USB) mencontohkan bentrokan yang dialami warga Urut Sewu ketika melakukan perlawanan karena warga tidak rela lahan pertaniannya di pagar secara sepihak, tanpa adanya persetujuan. Dalam bentrokan tersebut, banyak warga terluka karena dipukuli, bahkan ada yang ditembaki oleh sejumlah TNI dari Kodam IV/Dipenogoro.

Kejadian yang dialami petani Urut Sewu, menurut Sunu merupakan bukti jika pemerintah tidak melakukan fungsinya dalam melindungi rakyat, tapi justru memfasilitasi para perampok tanah.

Sunu menceritakan pertanian di Urut Sewu lebih menyejahterakan masyarakat dan petani bisa sejahtera dengan usahanya sendiri. Kehadiran pemerintah, melalui Dinas Pertanian dianggap tidak pernah menyelesaikan masalah yang dihadapi petani. Bahkan ketika mereka datang, seringkali menimbulkan maslaah baru.

“Saat itu mereka juga menyalahkan masyarakat karena dianggap tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan yang dibawa pemerintah,”ungkap Sunu.

Pakar Hukum Tata Negera Refly Harun mengatakan, andai saja Presiden Jokowi mengatakan ‘tidak’ pada RUU Minerba tersebut, maka UU Minerba tidak akan disetujui, dan tidak akan menjadi Undang-Undang. Karena secara konstitusional detain presiden memiliki 50 persen kekuasaan legislasi. Dan kukasaan tersebut, kata Refly, efektif untuk menghadang Undang-Undang mana pun yang tidak demokratis, dan mengangkangi sumber negara yang membuat kekuasaan otoritarian dan semacamnya.

“Kuncinya, sekali lagi ada di Presiden,”papar Refly.

Karena kalau kita mengkritik partai politik, dan Ketua Umum partai kata Refly Harun, tidak akan ada gunanya. Apalagi anggota DPR, sebab dianggap majemuk dan tidak satu kepala. Tapi presiden adalah primus inter pares dalam sistem pemerintahan presidensial. “Dan ditangan presidenlah sesungguhnya nasib republik lebih banyak ditentukan, termasuk nasib pertambangan,”ungkap Refly Harun. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *