Labumi.id, Hari ini sudah 72 tahun, ketika ditanggal yang sama 18 September, hari Sabtu Wage, terjadi peristiwa kelam yang pernah dialami bangsa Indonesia sebagai suatu negara, yaitu pemberontakan PKI yang lalu dikenal sebagai peristiwa Madiun.
Pemberontakan komunis yang berafiliasi dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) merupakan gabungan dari empat faksi, yaitu PKI, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI) dan Sentral Organisasi Buruh Indonesia (Sobsi).
Dalam buku Negara Madiun (Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan) karya Hersri Setiawan dikatakan jika api penyulutnya dipicu oleh beberapa alasan. Diantara yang paling penting dari lainnya, adalah dijatuhkannya Kabinet Amir Sjarifuddin oleh Masyumi yang mendapat dukungan penuh dari Presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta.
Kemudian terjadinya politik rasionalisasi di bidang militer oleh perdana menteri atau wakil Presiden Mohammad Hatta atas desakan Kepala Staf Umum Perang RI ketika itu, yaitu AH. Nasution.
Gencarnya perjuangan untuk program nasional oleh Sayap Kiri / FDR, yang dilakukan 5 bulan sebelumnya, September 1948 yang sudah diterima luas oleh Parpol, selain PNI dan Masyumi.
Berlangsungnya aksi-aksi pemogokan di beberapa daerah, terutama di Delanggu yang dilakukan Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan RI) dan Sobsi (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).
Naiknya eskalasi politik luar negeri Ri dengan Perang Dingin antara Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet), sekaligus kembalinya Musso ke Tanah Air, 11 Agustus 1948, yang disambut dengan lahirnya Resolusi Konferensi PKI 26 dan 27 Agustus 1948 di Yogyakarta, yang mengangkat tajuk “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”, yang kemudian populer dengan sebutan Koreksi Besar Musso itu.
Dalam koreksinya, Musso melontarkan pentingnya kabinet presidensial agar diganti dengan kabinet Front Persatuan. Dia juga menegaskan pentingnya kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet untuk memblokade Belanda. Materialisasi gagasan Musso ini, oleh kelompok sayap kiri diterjemahkan sebagai gerakan untuk menguasai sejumlah daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Solo, Wonosobo, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Purwodadi, serta Jombang.
Penguasaan dilakukan dengan cara demonstrasi, agitasi, sekaligus aksi kekacauan yang lain.(Red)