Cinta Sepahit Kopi

Seperti kopi yang menunggu hangat bibirmu jatuh ke tepian gelasnya, begitulah cintaku padamu. Tulus tak terbantahkan. Tak bisa berpaling. Meski pahit, meski getir. Karena itulah aku masih  di sini, sendiri. Oh, aku lupa menyebut teman kepada dua gelas kopi yang begitu tulus ini. Ya, dua gelas kopi. Satu untukku dan satu lagi aku pesankan untukmu. Tak bisa kubayangkan, bagaimana jadinya diriku tanpa mereka untuk sebuah penantian panjang.

Aku tahu penantianku akan panjang. Sebelumnya engkau berjanji bahwa kita akan bertemu kembali di sini, di tempat biasa kita menikmati segelas kopi, tepat di halaman kafe ini. Jadi, sembari menunggumu, aku bisa membandingkan lebih gelap mana, malam yang baru saja diguyur hujan atau hati laki-laki yang kehilangan harapan.

Malam hampir selesai, kasihku. Penantian selalu membuat keputusasaan lebih luas dari apapun. Dan kau tak juga datang untuk duduk di kursi berhadapan denganku. Untuk kemudian menjatuhkan hangat bibirmu pada tepian gelas kopi yang tulus menunggu. Untuk meneguknya  dengan lembut, sambil mengernyitkan dahimu, lantaran kopi kita sudah dingin dan pahit. Tapi bukankah kopi sama halnya cinta –sama dinginnya, sama pahitnya. Jadi buat apa menjadikannya hangat jika untuk meminumnya masih harus menunggu dingin? Untuk apa menambahkannnya gula? Biarlah kopi kita menjadi dirinya sendiri. Tak perlu ditutup-tutupi. Meskipun pahit, mereka adalah teman setia yang menjagaku dari sepi, setia melukiskan wajahmu di dalam pekatnya, setia mengingatkanku tentang harapan. Harapan yang mulai hilang perlahan.

Kau tahu Kasihku? Dari sini pula aku bisa menikmati tiga purnama dalam satu malam. Dua puranama mengambang di dalam dua gelas kopi hitam, satu lagi menggantung di langit kelam. Satu hal yang aku kagumi dari purnama adalah bukan karena sinarnya yang terang, melainkan kesendiriannya, yang menyiratkan bahwa ia adalah sebuah ketabahan yang tegar dalam penantian.

Apakah kau tahu cerita tentang bulan yang sebenarnya? Bahwa pada mulanya bulan tidak sendiri. Dulu, matahari setia menemani sepanjang waktu. Mereka terikat janji untuk tidak saling menyakiti. Kemudian, orang-orang mulai membandingkan siapa di antara keduanya yang lebih terang. Atau siapa yang paling sempurna bulatannya. Untuk alasan itulah mereka rela mengorbankan cintanya. Bulan merelakan matahari berpijar sepanjang siang, sementara, bulan memilih bergantung pada malam. Ya, malam. Sebuah waktu di mana manusia mulai lelah dan tak lagi menghiraukannya. Tapi itulah hakikat cinta sejati. Pengorbanan.

Sayangnya, manusia tidak pernah mau belajar kepada bulan. Mereka menganggap bahwa cinta tidak untuk dibagi. Satu cinta untuk satu hati. Satu kesetiaan untuk satu orang. Betapa sempitnya pikiran mereka. Betapa serakahnya. Mereka menganggap cinta kita sebagai sebuah kesalahan, lantaran aku mencintaimu, sementara sudah ada orang lain yang memilikimu. Bukankah  cintaku kepadamu tak menuntut apa-apa? Aku tidak pernah memintamu untuk membenci suamimu. Apalagi meninggalkannya demi aku. Aku tak mau mengorbankan kebahagiaan orang lain demi kebahagiaanku. Sungguh, cintaku kepadamu adalah cinta yang sebenarnya. Bukan cinta yang penuh pengekangan. Sedarhana bukan?

Yakinlah bahwa cinta itu memang sederhana. Sesederhana hulu yang merelakan riaknya mengalir jauh ke muara. Sesederhana tangkai yang merelakan kelopaknya jatuh berderai ke tanah. Atau, sesederhana senja yang merelakan cahaya pergi meninggalkannya. Merekapun tidak pernah menuntut apa-apa. Tidak menuntut bahwa yang dicintai harus dimiliki. Tidak menuntut bahwa yang dikasihi harus dipatuhi. Tidak juga menuntut bahwa setiap yang pergi harus kembali.

Tapi begitulah manusia. Mereka lebih suka menjadi hakim untuk manusia yang lain. Orang-orang lebih suka menilai orang lain dari pikiran mereka sendiri. Kau tahu bagaimana mereka menilaiku? “Patung.” Mereka menganggapku tak lebih baik dari patung yang tertekuk di sudut taman. Dipenuhi lumut dan cita-cita yang kosong. Mereka menganggapku bukan lagi bagian dari kehidupan. Setiap mata menatapku tajam, tanpa ampun, tanpa belas kasih, seolah-olah aku telah melakukan dosa besar karena mencintaimu. Mencintai orang yang sudah menjadi milik orang lain.

Apakah cinta adalah kesalahan? Kita tak pernah memintanya datang. Bahkan kita tak pernah tahu sejak kapan rasa itu hadir di hati kita masing-masing. Tiba-tiba kita sudah berada di dalamnya. Menjadi pemeran dalam alur cerita yang aneh.  Dalam cerita bernama “kesalahan.” Kita juga tak pernah tahu bagaimana cerita ini akan berakhir. Atau akan menjadi apa nasib kita selanjutnya. Jadi pasrah saja. Pasrah pada penderitaan yang menimpa kita bersama, atau menikmati setiap luka yang akan kita terima.

Seberapapun sesaknya telingaku mendengar cacian, cibiran, juga tatapan sinis orang-orang, toh aku tetap di sini. Menunggumu sepanjang waktu. Sampai malam benar-benar selesai. Mereka tak sedikitpun mengurangi kebesaran cintaku kepadamu. Di saat seperti itu, yang kulakukan adalah menatap pada segelas kopi pekat. Membayangkan seolah-olah ia adalah sumur tanpa dasar yang bisa menyembunyikanku dari kepungan orang-orang. Aku melompat pada kedalamannya. Tubuhku melayang, menuju suatu waktu di mana kita pernah bertemu.

***

Aku ingat. Pertama kali kita bertemu di tempat ini. Bahkan aku masih ingat jelas warna bajumu. Saat itu kau mengenakan baju warna merah jambu. Rambutmu dibiarkan terurai lurus sebatas bahu. Sewaktu aku berjalan menuju kursi di halaman kafe tempatku biasa menikmati segelas kopi yang baru saja aku pesan, tiba-tiba tubuhmu membenturku saat kita berpapasan. Tentu saja kopi di tanganku berhamburan ke lantai. Ada juga yang memercik di kemejaku, meninggalkan bekas hitam kecokelatan. Kau meminta maaf dan menawarkan minuman di tanganmu yang juga baru kau pesan. Tapi aku lihat bukan kopi. Sepertinya bir. Mungkin saat itu kau masih belum menyukai kopi. Aku tak pernah minum apapun di kafe ini selain kopi. Memang terkesan ganjil jika ada seorang laki-laki pergi ke kafe hanya untuk minum segelas kopi, bukan bir.

Belum sempat aku berkata apa-apa untuk membalas permintaan maafmu, seketika ada seorang lelaki melangkah cepat menarik tanganmu dengan keras. “Ayo pulang, selesaikan masalah kita!” Nada bicaranya seperti sedang hendak meluapkan kemarahan yang cukup besar.

“Iya, tapi lepaskan tanganku, Mas. Bisakah kau tidak berbuat sekasar ini di depan banyak orang?” Ucapmu melawan.

“Kau memang pantas diperlakukan seperti ini,” ucapnya lagi.

Kafe yang semula ramai dengan percakapan orang-orang mendadak lengang. Semua mata tertuju padamu dan laki-laki yang menyeret tubuhmu ke dalam mobil lalu menutup pintunya dengan keras. Kau berlalu. Suasana kafe kembali riuh. Kali ini fokus pembicaraan mereka menjadi sama, yaitu tentang pertengkaranmu dengan lelaki itu yang mungkin suamimu. Sementara, aku masih berdiri, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Pelayan kafe memintaku untuk beranjak karena hendak membersihkan tumpahan kopi di lantai, sambil menawarkan apakah aku mau diseduhkan segalas kopi lagi tanpa harus membayar. Tapi suasana hatiku sudah tak nyaman. Aku memilih pergi.

Keesokan malamnya, aku kembali ke kafe ini. Selain tempat kerja, aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di sini daripada di kamar kos yang sempit. Menurutku tempat ini cukup banyak memberikan inspirasi yang bisa aku tuliskan ke dalam karya-karyaku. Sebagai laki-laki yang bekerja di sebuah penerbitan buku tidak ternama, tentu aku butuh pengahasilan tambahan. Jadi, menulis aku jadikan sebagai pelarian untuk mencukupi kebutuhan.

Aku teguk kopi yang masih hangat dalam gelas di hadapanku. Belum aku temukan kopi senikmat ini di tempat lain. Jika mencari kopi nikmat berharga murah, kafe inilah tempatnya. Itulah salah satu alasan kenapa tempat ini selalu ramai sepanjang malam. Ketika aku nyalakan sebatang rokok dan  menghisapnya dalam-dalam, ingatan tentang kejadian semalam kembali terlintas di kepalaku. Tentang wangi parfummu yang tak sengaja aku hirup, raut wajahmu yang diliputi rasa bersalah, juga laki-laki yang menarikmu. Sebagai sesama laki-laki, aku rasa tak pantas memperlakukan perempuan sekasar itu di hadapan banyak orang. “Ah, sial! Kenapa aku jadi memikirkan rumah tangga orang?” Gumamku dalam hati. Segera kukeluarkan laptop dari ransel untuk memulai menulis, tapi tak kunjung kutemukan kata pertama.

“Apa kursi ini ada yang menempati?”

Aku tersentak. Kau yang sedari tadi memenuhi pikiranku seketika benar-benar hadir di hadapan. Samar-samar aku lihat wajahmu diterpa cahaya lampu. Sebuah bandana melingkar di kepalamu.  Tetapi rambutmu yang lurus tetap terurai sebatas bahu. “Oh, tidak. Aku sendirian di sini,” Jawabku tergagap.

“Boleh aku duduk?” Tanyamu lagi.

Ingin aku memintamu diam sejenak untuk melukis wajahmu. Tapi aku bukan pelukis yang pandai memainkan garis dan warna. Aku hanya penulis yang gagal menemukan kata pertama. Aku simpan saja lekuk hidungmu yang mancung dalam ingatan. Begitu juga sepasang alismu yang tebal, serta warna bibirmu yang kemerahan.

“Oh, silakan, silakan!” Jawabku. Lalu kau menarik kursi agak ke belakang. Sementara aku semakin kebingungan mencari kalimat pertama untuk memulai pembicaraan.

“Kau pesan apa?” Tanyamu lagi memecah kebuntuan.

“Aku sudah pesan kopi.”

“Maksudku kau pesan kopi jenis apa?” Aku tersudut. Selama ini aku hanya suka minum kopi, tanpa peduli kopi jenis apa yang aku minum. “Arabika apa robusta?” Tanyamu lagi.

“Arabika,” jawabku spontan. Kau tersenyum. Aku semakin salah tingkah.

“Ternyata selera kita sama. Aku juga lebih suka arabika. Rasanya begitu kaya, lembut, tajam, dan kuat. Cukup manis untuk diminum tanpa gula karena memiliki kandungan gula dan lipid lebih tinggi dari robusta. Sedangkan robusta memiliki rasa menyerupai cokelat. Pahit di lidah karena memiliki kadar kafein dua kali lipat dari arabika. Jadi perlu pemanis untuk bisa menikmatinya.”

Aku keliru menyebut jenis kopiku. Mendengar penjelasanmu, aku rasa kopiku adalah jenis robusta. Aku merasa tampak konyol di hadapanmu. Tak kusangka, kau juga penikmat kopi, melebihi aku.

“Namaku Lina.” Kau mendorong tangan kananmu tepat di atas laptopku yang masih menyala dengan halaman Microsoft Word kosong. Dengan segera aku menutupnya dan menyambut tanganmu. Tanganmu lembut. Kulitmu halus seperti bulu kucing yang baru saja dimandikan.

“Aku Pras.”

“Prasasti?” Kau tertawa. Aku gemetar.

“Hanggar prastiyo,” balasku. Kita saling melepaskan genggaman.

“Aku minta maaf tentang kejadian semalam.”

“Tidak apa-apa. Kalian bertengkar?”

“Semlam aku sengaja memosting fotoku ketika berada di sini agar Mas Pram berpikir bahwa aku juga bisa pulang larut malam. Bahwa aku juga butuh diperhatikan. Bahwa aku juga memiliki dunia sendiri yang perlu diisi kehidupan.” Aku mencoba menerka arah pembicaraanmu yang sulit kupahami.

“Lalu di rumah kalian bertengkar lagi?” Kau menarik napas panjang, seperti hendak menumpahkan gelombang besar di dadamu. Tapi segera kau tahan. Kau teguk kopi di depanmu yang sudah mulai dingin. Kau terlihat tegar.

“Semula, dua tahun pernikahan kami berjalan sempurna. Mas Pram begitu perhatian. Kami suka berpetualang. Naik gunung, berkemah di hutan, atau pergi ke pantai saat hari libur. Tapi tidak dua tahun setelahnya. Rumah kami mulai dihinggapi kebisingan. Mas Pram tak lagi menikmati kopi yang aku buatkan setiap pagi sebelum dia bekerja. Pulang larut malam, dan menganggap setiap yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan.”

“Kalau begitu, sebaiknya kau pulang, daripada nanti bertengkar lagi.”

“Mas Pram tidak pernah pulang setelah kami bertengkar. Kadang-kadang sampai lima hari dia baru kembali. Tapi mungkin aku lebih baik pulang, kembali pada kesepianku sendiri. Maaf telah menyita waktumu.” Kau pergi meninggalkan kopi yang masih tersisa setengah. Aku merasa bersalah telah membuatmu merasa terusir. Aku menderita demam komunikasi. Tak begitu pandai memainkan suasana. Akhirnya pertemuan kedua berlalu begitu saja.

Aku kira pertemuan kedua akan menjadi akhir pertemuan kita. Ternyata masih ada pertemuan ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, sampai kita terasa begitu dekat. Sedekat dada dan punggungmu yang tetap saja tak pernah bisa menyatu.

Bagi kita, pertemuan hanya sebatas merayakan sepi di dada kita masing-masing, atau sekadar kesempatan melepas rindu. Melepas rindu hanya dengan saling menatap, menikmati kopi, atau membicarakan tingkah suamimu yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Itu saja. Aku tak pernah mampu memberikan kecupan di keningmu, pipimu, atau bibirmu.  Tentu saja selalu terlintas hasrat untuk mencium keningmu dengan tulus, atau membelai rambutmu dengan lembut, memegang tanganmu dengan mesra, atau memberikan satu kecupan di bibir manismu. Tapi tidak. Aku tak pernah bisa melakukannya. Setiap kali hasrat itu datang, setiap itu pula rasa takut menggempurku seperti hujan. Rasa takut, yang membuat dadaku berdebar. Aku takut jika sekali saja kau memberikannya, maka aku akan memintanya lagi, atau menuntutmu untuk memberikannya lebih. Aku biarkan hasrat itu terlantar begitu saja.

Suatu malam, kau datang lebih awal. Kau duduk di kursi di mana biasa kita tempati. Sendiri. Oh, aku lupa menyebut teman pada dua gelas kopi di hadapanmu. Ya, dua gelas kopi. Satu untukmu dan satu lagi engkau pesankan untukku. Arabika tanpa gula. Mungkin kau ingin aku juga dapat merasakan pahitnya. Pahit segelas kopi, juga pahit kehidupan yang tak pernah bisa kita tutupi.

“Maaf, aku terlambat.” Ucapku basa-basi. Kau tak membalas. Pandanganmu terjatuh pada segelas kopi di hadapanmu. Dapat kutebak kau sedang bertengkar dengan Mas Pram, Suamimu yang kasar itu. Gerimis turun secara perlahan. Menciptakan percikan-percikan kecil pada gelas kopimu. Kita sama-sama tak beranjak. Lampu jalan tampak suram. Begitu juga wajahmu.

“Awalnya aku pikir sikap kasar Mas Pram dikarenakan aku belum bisa memberikan seorang anak sebagai buah dari rumah tangga kami.” Ucapmu. Kau menghela napas panjang, “tapi ternyata selama ini aku salah mengira.” Seperti biasa, kau selalu berusaha tampak tegar. Kau pandai menyembunyikan tangis di antara gerimis, tapi tak pandai menyembunyikan luka di dadamu.

“Dia memukulmu?” dari pendar cahaya yang sesekali berkilatan, aku lihat lebam pada pelipis kananmu. Ada gemuruh di dadaku yang ingin aku tumpahkan agar engkau tahu bahwa aku juga merasakan sakit yang sama sebagaimana engkau rasakan.

“Semalam Mas Pram pulang. Aku masih mendengar derit pintu kamar saat Mas Pram membukanya dan menutupnya kembali untuk memastikan aku sedang tidur. Setelah itu aku tidak mendengar apapun selain suara Mas Pram yang seperti sedang bercakap lirih dengan seseorang melalui telepon genggamnya di sofa ruang tamu. Aku bangkit dari tempat tidur. Dan betapa aku merasa hancur ketika tahu bahwa Mas Pram sedang video call-an dengan Lisa, adik kandungku.” Tangismu kini tak terbendung meski tak bisa kubedakan antara air mata dan gerimis yang membasahi pipimu, dapat kurasakan sesak dadamu yang tak mampu menahan rasa sakit. Patah hati selalu membuat kesedihan lebih dalam dari apapun.

“Jadi, suamimu selingkuh dengan adik kandungmu?”

Hujan semakin deras. Begitu juga air matamu. Kau teguk segelas kopi yang sedari tadi kau biarkan diterpa hujan. Tiba-tiba kau memegang tenggorokanmu. Kepalamu tersungkur di atas meja. Segera aku peluk tubuhmu yang lunglai dan hampir jatuh.

“Kita akan kembali bertemu di sini, pada suatu waktu.” Ucapmu tersendat. Aku berteriak memanggil-manggil namamu, tapi kau terlanjur pergi jauh. Orang-orang berkerumun, termasuk petugas yang kemudian meringkusku atas tuduhan bahwa aku telah melakukan pembunuhan berencana terhadapmu, dengan segelas kopi arabika tanpa gula, dicampur sianida.

***

Setelah dua puluh tahun aku lalui di tempat pengap dan lembab, malam ini aku kembali ke tempat di mana kita biasa menikmati segelas kopi, untuk menagih janjimu, bahwa “kita akan kembali bertemu di sini pada suatu waktu.” Maka datanglah kekasihku. Lihatlah, purnama tampak indah dilihat dari gelas kopi.

Malam hampir habis, kasihku. Aku tahu kau tak akan ingkar janji. Kau tak akan pernah  membiarkan aku meratapi sepi sendiri, karena kita memiliki kesepian yang sama. Telah aku pesankan dua gelas kopi. Satu untukmu dan satu lagi untukku. Kopi arabika tanpa gula, dengan sedikit sianida. (*)

 

 

*) Penulis sehari-hari nyambi sebagai dosen di Universitas Wiraraja Sumenep, Pernah menjuarai lomba menulis cerpen Islami, Forum Lingkar Pena 2008

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *