Batu Kapur

Gambar Karya Photographer Trey Ratcliff

Sesekali Badur menyulam pagi dengan niat silaturrahim ke Pangabasen. Tempat Fajri berdiam karena sudah lama tak datang dari kota. Badur mendatangi Fajri sedang duduk di bawah pohon tepat di samping kiri kamar mandi. Tanah pasir dan sejuk pohon-pohon di samping kanan-kiri yang mengelilingi rumah, Fajri santai dengan jari-jari yang sibuk menulis sms. Badur datang menaiki motor melewati jalan kecil berbatu dan samping kanan-kiri jurang tempat air hujan lewat menuju rawa dan sawah. 

  Kita duduk di kursi lengkap dengan meja yang bersuguhan jajan desa dan buah semangka besar-manis, kopi dan rokok. 

“Manis sekali semangkanya Jri” kata Badur sambil menikmati semangka merah

“Iya donk, kayak yang punya” kata Fajri sambil tersenyum

Sekitar tiga puluh menit berbincang-bincang, Fajri ingin silaturrahim ke Batu Kapur, Badur dan Umam sepakat untuk ke sana. Kita pun berangkat naik motor, melewati jalan Batang-Batang, terus menyusuri Legung ke Barat, melewati hutan pinggir lautan. Sepuluh menit kemudian kita sampai di tepian batu-batu putih, terus menyusuri jalan berbatu, naik turun, Fajri dibelakang bermandikan debu karena jalannya berpasir.

“Apakah belum ada rencana untuk dijadikan wisata” tanya Umam sambil duduk di lincak bambu, tepat di tebing jurang batu kapur di produksi tempat para tamu di Batu Kapur.

“Tidak ada” jawab Batu Kapur

Ini tempat luar biasa, Batu Kapur dirinya sangat dalam, dari saking dalamnya tidak bisa di lukai, kalau dipaksa dilukai, maka akan keluar air dari bawa tubuhnya. Tubuh yang dalam, samping kanan-kiri bebatuan meninggi, di latar Utara dibatasi lautan tanpa batas. Air yang hijau, gelombang terlihat manja dan perahu-perahu menerjangnya. Umam duduk sambil berbincang-bincang, Fajri dan Badur berkeliling melihat-lilhat wajah dan tubuh yang indah, berhias batu hitam dan putih, pohon akasia dan pohon karno terus membawa angin sepoi ke mata Batu Kapur. 

Terik siang memanas di ubun-ubun, debu-debu beterbangan bersama angin siang yang gersang. Jalanan berbatu dan tanjakan membuat mata kita beramai-ramai menikmati angin dan bukit-bukit batu kapur yang menjulang di samping kanan-kiri.

“Dur, ayo di foto“ kata Fajri sambil senyum-senyum malu, karena sudah dewasa masih minta difoto sambil manja-manja di tebing batu kapur.

“Badur pun mengiyakan permintan Fajri” berfoto berlatar batu kapur yang dalam, berfoto berlatar lautan dengan biru airnya, berfoto berlatar pemandangan alam bebatuan dan pohon-pohon kecil yang tumbuh di atas batu kapur serta bukit-bukit kecil yang berhias bunga-bunga sesren dan akasia. Kemudian Badur minum air yang di ambil dari tubuh batu kapur.

Setelah sekian lama, batu kapur hidup, tidak ada yang peduli melihat dirinya, bahkan bertahun-tahun dirinya memperkenalkan pada masyarakat dengan memberikan segumpal batu kapur pada setiap truck yang lewat di depannya, agar dirinya di kenal banyak orang. Bertahun-tahun batu kapur menuggu di tepian bebatuan yang panas, berdebu, hingga wajahnya bertumpukan debu-debu batu kapur, hingga lusuh. Namun pada akhirnya dengan perjuangan yang tanpa mengenal rasa lelah-lesuh, panas dan malam, batu kapur kini menjadi besar dan menjadi pusat batu kapur di Batu Putih.

“Badur” panggil Umam

“Ada apa, kau memanggilku” tanya Badur

“Kini kau menjadi incaran orang-orang yang punya banyak uang, jadi kau harus hati-hati” kata Umam serius

“Iya, aku mendengar hal itu, tetangga ke barat dan ke timur dari aku sudah dikuasai orang-orang yang punya uang, mereka membeli tetanggaku itu dengan harga yang mahal, tujuannya sich katanya untuk menampung udang-udang, kata orang di sana tambak udang”  

“Lho, kan enak kamu makan udang terus”

“Enak gimana, yang aku gelisahkan, tetanggaku senang dengan uang yang banyak, wajar mereka dari dulu tidak pernah memegang uang merah dan biru, kini justeru terkaget-kaget, orang-orang ber-uang membeli keeping dengan keeping, sementara dari dulu mereka menjual satu kotak demi satu kotak tanah”

“Logikaku sederhana Mam” kata Badur

“Gimana”

Okey, sekarang senang menikmati uang penjualannya, apakah mereka berpikir masa depan dirinya dan masa depan anak cucunya? Masa depan dirinya, sekarang senang dengan uang yang melimpah, sementara mereka tidak menyadari bahwa yang mereka miliki setiap hari dan malam pasti berkurang, lama-lama akan habis, lantas bagaimana kalau uang sudah habis dan tanah sudah tidak punya lagi, apa yang akan dilakukan mereka? Apakah akan menjadi buruh di tanahnya sendiri? Atau keluar kerja di luar negeri dan di daerah orang lain yang juga belum jelas hasilnya sementara banyak saudara kita yang kerja di luar negeri menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan? 

“Bagaimana dengan anak cucu kita nanti, bagaimana nasib alam dan lautan ini akhirnya, mengapa mereka mau menukar tanahnya dengan sesuatu yang sementara seperti uang, padahal kalau mereka berpikir tanah lebih abadi daripada uang. Apakah karena tanah tidak bisa untuk membeli mobil dan motor, beras dan emas?” 

Mereka diam, sepi dan hening tiba-tiba menyelinap seketika. Daun-daun menerpa angin, batu-batu dan gelombang berteriak lantang menerima tamu angin yang tiba-tiba menerjang jiwa mereka berdua. Seolah-olah malam sepi datang seketika menyeruak cepat kilat. 

“Mengapa kalian bengung” Fajri tiba-tiba datang

“Mengapa kamu berkata lautan” biasanya orang yang punya uang banyak, dia tidak berpikir dan merasa bagaimana keseimbangan semesta ini, yang penting bagi dia adalah untung, atau hasil dari uang yang dia keluarkan. Maka air laut akan kotor, alam ini akan gersang, Bandung sebagai kota Hujan sekarang juga mengalami kekeringan dan kekurangan air bersih. Ini akibat dari hilangnya pikiran sederhana. Misalnya berpikir menjaga pohon, menjaga tanah, menjaga hewan, dan menjaga keseimbangan alam ini dengan tidak menguras habis potensi alam, seperti menebang pohon. 

“Badur, ternyata diam-diam kamu serius yach dalam berpikir dan membaca alam ini” 

“Bukan serius, tapi ini sudah amanah dari Tuhan memberikan pikiran pada kita untuk digunakan. Digunakan untuk berpikir tentang semesta yang sebenarnya alam ini juga teman kita, sebab alam ini juga sama seperti kita, mereka makhluk juga hanya saja bentuknya berbeda, buktinya alam ini bertasybih, memuji sang pencipta”

“Apakah kita lantas akan kalah dengan aktivitas alam ini, pohon ini, akar ini” 

Padahal untuk berdamai dengan ranting, kita juga harus berdamai dengan akar. Untuk berdamai dengan lautan, kita harus berdamai dengan gelombang. Untuk berdamai dengan Tuhan, kita harus berdamai dengan alam. Untuk berdamai dengan alam kita harus berdamai dengan Tuhan.

Battangan, 2021

*Cerpenis tinggal di Sumenep

Domisili: Dusun Battangan, RT/RW 001/004, desa Gapura Timur, Kec.Gapura, Sumenep, 69472

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *