Kolom  

Remaja dan Ladang Masa Depan

foto: labumi.id
REMAJA DAN LADANG MASA DEPAN

Masyarakat kita terdiri dari mayoritas petani. Pada umumnya, masyarakat menggantungkan pencaharian hidupnya sehari-hari dari bertani. Khusus masyarakat pulau Madura, bertani tak selalu identik dengan ladang, dengan hasil bumi. Karena terdapat pula aktivitas bertani  garam dan bertani rumput laut.

Sebagai pulau penghasil garam terbesar, Madura memiliki karakteristik alam yang sebagian besar tandus, tidak berhumus. Tanah Madura cenderung tidak cocok untuk dijadikan lahan pertanian yang menjanjikan. Hanya beberapa jenis pertanian tertentu yang dapat tumbuh dengan mudah di tanah Madura. Yaitu tanaman tembakau, jagung, singkong, dan kacang tanah.

Memang terdapat beberapa daerah yang berhasil bertanam padi, aneka sayur dan buah. Akan tetapi jumlah yang terdapat kurang representatif untuk prosentase pertanian di Madura. Tanah berkapur yang tandus tidak potensial untuk dijadikan lahan pertanian. Dan otomatis, dunia perladangan atau pertanian di Madura tidak menjanjikan prospeksi bagi sebuah masa depan  generasi.

Karena hal-hal mendasar inilah, remaja kita seperti menjaga jarak dengan dunia pertanian. Tidak perduli orang tua dan nenek moyang mereka sejak dulu adalah komunitas petani, generasi muda masa kini seperti tidak tertarik pada segala macam yang berbau pertanian.

Pada saat memilih jurusan di dunia pendidikan pun, jurusan pertanian bukan merupakan jurusan yang difavoritkan. Bisa jadi mereka melihat fakta bahwa untuk menjadi seorang petani yang sukses dan memiliki prospek yang cerah, tidak perlu menempuh jalur pendidikan khusus pertanian. Justru sebagian mereka berpikir, bahwa untuk menjadi petani tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Cukup bertani saja, belajar langsung pada generasi tua yang masih aktif bertani.

Tidak sedikit sebenarnya masyarakat di sekitar kita yang tak memiliki lahan sendiri tapi mereka bekerja sebagai buruh tani. Jejak ini pun tidak dianggap sebagai hal yang perlu diikuti oleh remaja kita. Mereka seolah berkesimpulan bahwa tidak ada masa depan yang dijanjikan dari sebuah ladang. Padahal, secara faktual, mereka berkehidupan selama ini dimodali oleh aktivitas perladangan.

Selain itu, status sebagai petani, tidak memberikan representasi aktual ataupun meningkatkan status sosial dalam kehidupan masyarakat. Hidup di lingkungan pedesaan sekalipun, mempunyai status sebagai petani, apalagi buruh tani, bukan merupakan hal yang ingin dicita-citakan kaum remaja kita. Sebagian dari mereka justru merasa gengsi untuk terjun pada pertanian.

Pertanyaannya, benarkah kaum remaja tidak suka bertani?  Sebagian dari mereka memang membantu orang tua yang melakukan aktivitas pertanian, baik sebagai buruh tani ataupun pemilik lahan yang mengerjakan sendiri pertaniannya. Akan tetapi hal ini bukan sebuah pilihan yang sepenuhnya mereka sukai. Justru sebagian besar dari mereka melakukan hal ini karena mereka tidak memiliki pilihan untuk mengelak dari kondisi, dimana lingkungan keluarga dan masyarakat mereka seperti mengharuskan mereka untuk terlibat dan terampil bertani.

Di sisi lain, remaja kita seperti tertuntut untuk memiliki keahlian lain ( yang tidak berhubungan dengan pertanian) jika mereka tidak ingin ‘dipaksa’ terlibat dengan aktivitas pertanian keluarga. Hal ini pun tidak mudah dihadapi. Tetap saja mereka akhinya terjun membantu orang tua, bercocok tanam, sekalipun dengan terpaksa dan tak berminat untuk menjadi ‘ahli’ dalam  kerja taktis maupun kerja strategis bertani. Remaja tidak ikut memikirkan prospek pertanian, strategi-strategi pemberdayaan modal, pendistribusian hasil tanam, hingga konsepsi modal untuk penggarapan musim tanam berikutnya.

Salah satu kelemahan dunia pertanian memang karena tergantung pada musim dan cuaca. Hal ini cukup mempengaruhi minat remaja untuk terjun pada dunia pertanian di lingkungan mereka. Aktivitas bertani mereka pandang sebagai aktivitas yang tidak memiliki ketentuan kontinuitas.

Pada akhirnya, semakin lama, minat remaja pada dunia bertani semakin menipis. Bahkan, sekalipun mereka memiliki kualifikasi disiplin ilmu di bidang pertanian, hal itu tidak dengan sendirinya membuat mereka berminat terjun pada dunia pertanian. Pilihan yang mereka jalani kemudian tetaplah bekerja di sebuah perusahaan yang sedikitnya masih berhubungan dengan pertanian. Bukan lantas terjun ke ladang yang menurut mereka cenderung tidak jelas masa depannya. Wallahu A’lam.

 

                                                                   Karduluk, 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *