Kolom  

Media Sosial, Netizen dan Keadaban Bangsa

Saat ini, menurut Skinner, kita memasuki era ke empat dalam evolusi umat manusia, yaitu era jaringan. Apa yang menarik dari era ini? Yaitu runtuhnya konsep waktu dan ruang. Telah menjadi kenyataan bahwa hari ini kita sudah tidak terpisah lagi oleh waktu dan ruang seperti pada era sebelumnya. Semakin hari konsep jarak semakin runtuh berkat konektivitas global. Semua orang dapat berbicara, bersosialisasi, berkomunikasi dan berdagang secara global, pada waktu nyata dan bersamaan. Argumentasi Skinner ini diperkuat bahwa dalam revolusi komunikasi manusia, sekarang sudah memasuki suatu era yang disebut the age of mass mediated communication yaitu komunikasi antar manusia yang melibatkan massa. Artinya partisipasi semua orang dalam jaringan dihubungkan oleh suatu media sosial yang acceptable.    

Era jaringan dan komunikasi massa yang semakin canggih ini, telah menjadikan semua orang terhubung semakin intens dan masif. Penelitian dewan pers pada bulan November 2019 lalu menyebut bahwa 70 persen masyarakat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial. Hal ini juga dikuatkan oleh survei Reuters Institute pada bulan Maret dan April 2020 di Argentina, Spanyol, Korea Selatan, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat bahwa sebagian besar masyarakat menggunakan media sosial dan aplikasi pesan untuk mendapatkan berbagai informasi, termasuk soal Covid-19. 

Di satu sisi keberadaan media sosial sebagai ruang publik baru masyarakat telah dapat menutupi dan menjawab kehausan informasi. Namun di sisi lain, lalu lintas informasi semakin sulit dikontrol dan diverifikasi kebenarannya. Siapa pun bisa menjadi sumber, konsumen, dan distributor berita. Hal ini berbeda dalam pemberitaan media massa yang melalui tahapan-tahapan ketat berdasar etika jurnalistik. Dua tahun terakhir, berdasar catatan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), hoaks membanjiri masyarakat melalui media sosial. Pada tahun 2019, rata-rata terdapat 100 hoaks per bulan, 60 persen di antaranya soal politik. Saat ini 100 persen hoaks per bulan sebagian besar terkait pandemi Covid-19. Data ini diperkuat oleh laporan media nasional Kompas bahwa perilaku masyarakat Indonesia 81,7 persen menerima berita hoaks melalui Facebook dan sekitar 57 persen dari Whatsapp. 

Belum cukup kita dikejutkan oleh ketidaksiapan masyarakat dalam memfilter informasi melalui media sosial, baru-baru ini riset Indeks Keberadaban Digital (Digital Civility Index) Microsoft terhadap 32 negara dalam mengukur tingkat kesopanan pengguna internet selama tahun 2020, negara kita Indonesia mendapat peringkat ke-29. Artinya Indonesia adalah salah satu 4 negara yang dianggap masyarakatnya tidak sopan bermedia sosial di internet. Indikator yang dipakai beberapa di antaranya adalah kecepatan persebaran berita bohong atau hoaks, pendenggung (buzzer), hingga interaksi di ranah daring yang menimbulkan keributan.

Perilaku netizen (masyarakat media maya sosial) Indonesia ini, tentu paradoks dengan gambaran masyarakat Indonesia yang dikenal santun, ramah, dan suka monolog. Pertanyaannya kenapa hal ini bisa terjadi? Pemerhati budaya dan komunikasi digital, Firman Kurniawan, menyebut bahwa hal ini disebabkan oleh banyaknya konten-konten negatif di dunia sosial. Konten negatif berupa video umpatan, cacian dan sejenisnya ataupun komentar-komentar kasar dari netizen menjadi tontonan jamak agar konten-konten itu bisa tenar dan viral. 

Aspek ketenaran dan keviralan ini mengabaikan kehati-hatian, kekritisan kita terhadap informasi media sosial. Netizen Indonesia kehilangan apa yang disebut ‘literasi digital’ untuk mengecek dan memverifikasi arus berita yang diterimanya. Kemampuan literasi membaca yang rendah ini menjadi pintu masuk berita hoaks dan sikap emosional yang meledak-meledak karena konten berita yang provokatif. Hal ini semakin menguatkan data UNESCO bahwa kemampuan membaca masyarakat Indonesia memang rendah yaitu ada di angka 0.001 persen. Artinya dari seribu orang Indonesia hanya satu orang yang rajin membaca.

Dengan kondisi media sosial dan perilaku netizen Indonesia di atas, tentu sebagai bangsa kita patut mengelus dada dan prihatin. Sikap toleran, santun dan ramah yang diwarisi dari nenek moyang kita telah berganti menjadi sikap egois, arogan dan suka mencaci maki pada sesama yang berbeda. Hal ini diperparah oleh rendahnya kemampuan literasi dalam menyaring mana berita yang benar dan hoaks. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, pertama, ‘saring sebelum sharing’. kebiasaan netizen dalam bermedia adalah mensharing berita-berita tanpa diverifikasi dulu kebenarannya. Kedua, Isilah konten-konten berita di media sosial dengan konten positif dan edukatif. Para warganet sudah harus mulai meng-apload berita kegiatan atau pengalaman terkait kemajuan dan prestasi pribadi, komunitas ataupun institusinya, sehingga mendatangkan inspirasi bagi lainnya. Dan ketiga, pemerintah harus tegas menindak bagi siapapun yang melakukan pelanggaran di media sosial. Good willing pemerintah ini dibutuhkan untuk menjamin rasa aman dan nyaman. Pemerintah harus hadir untuk melindungi hak-hak warganet agar tetap berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Wassalam !         

Sumenep, 1 Juli 2021

* Penulis Direktur Madrasah Moderasi LPTNU Sumenep

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *