Kolom  

Ketakutan Investor Migas Dari Tatapan Hukum dan Sosial

Oleh :  Christar Rumbay, S.Phil, M.Hum | Menempuh Pendidikan Doktoral di Indiana University of Pennsylvania, USA dan Theologische Universiteit Kampen, di Belanda.

Semangat pembangunan ekonomi sangat membara di setiap individu masyarakat Indonesia yang menginginkan terjadinya pembangunan ekonomi yang bisa terasa efeknya sampai kepada masyarakat paling bawah.  Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam menumbuhkan perekonomian bangsa Indonesia.  Semua sektor bisnis yang potensial diberdayakan penuh untuk menunjang pertumbuhan ekonomi ini.  Salah satu sektor usaha yang mampu mendongkrat pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sektor “minyak dan gas bumi”.

Bung Karno pernah berkata “Biarkan kekayaan alam kita tetap tersimpan di perut bumi, sampai para insinyur-insinyur kita dapat mengolahnya sendiri”.  Jika dipandang dari semangat kemerdekaan maka hal ini benar adanya, tetapi tentunya ini sangat merugikan bangsa kita jika dipandang dari sisi ekonomi. Indonesia perlu mengundang investor asing untuk berinvestasi agar mampu meningkatkan perekonomian bangsa.  Sektor migas merupakan ladang basah bagi para investor dan merupakan sumber daya alam paling potensial bagi Indonesia untuk dimanfaatkan, tinggal bagaimana kemampuan putra-putri bangsa ini mengatur agar industri migas tetap berkiblat ke merah putih.

Hal yang patut kita khawatirkan adalah, jika seandainyapun Bung Karno mengatakan “biarkan kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi dikelola oleh investor asing”, apakah para investor akan melirik Indonesia sebagai tempat melabuhkan dollar mereka untuk mengembangkan usaha di sektor migas ?  saya takut tidak ada satupun investor yang berani berinvestasi di Indonesia.  Banyak faktor yang menyebabkan para investor lari kocar-kacir lari Indonesia, untuk melirik Indonesiapun enggan rasanya.  Salah satu penyebabnya adalah ketidakpastian hukum di Indonesia.  Undang-Undang No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara telah membuat para investor menari diatas karung beras yang dipikul oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Akhirnya pada era Gus Dur, Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas disahkan menjadi undang-undang, dimana waktu itu Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.  Undang-undang ini dalam perjalanannya ternyata merugikan pihak investor.  Banyak pasal-pasal dalam Undang-undang ini diaanggap terlalu pro merah putih tanpa memperhatikan investor.  Memang benar bahwa dalam menciptakan produk hukum di Indonesia maka pemerintah harus berpatok pada buku sakti UUD 45 pasal 33 dimana kekayaan alam adalah miliki negara dan harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyatnya, namun hal ini jangan ditelan mentah-mentah sehingga membuat para investor  lari terbirit-birit dari Indonesia.  Akibatnya adalah para investor enggan berinvestasi di Indonesia sehingga membuat pertumbuhan ekonomi terhambat.

Selain itu juga, persoalan pengurusan ijin yang memiliki banyak pintu menyebabkan terhambatnya kegiatan eksplorasi sampai pada produksi minyak, investor harus menghabiskan waktu sampai bertahun-tahun hanya untuk sekedar mengurus ijin pertambangan minyak.  Waktunya terkuras habis untuk mengurus perizinan mulai dari instansi SKK Migas, Bea Cukai, Direktorat Pajak, pemda, maupun kantor kementerian terkait. Ini jelas sangat melelahkan dan mengorek kantong investor sebelum eksplorasi dimulai.  Membubarkan BP Migas menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kegiatas investasi, namun sayangnya dibentuk lagi SKK Migas yang tetap membuat kerancuhan dalam pengurusan ijin di sektor migas.  Alangkah baiknya jika BP Migas yang sudah dibubarkan bisa dileburkan dengan Pertamina agar pengurusan ijin dan sebagainya menjadi lebih sederhana.  Pemerintah juga sudah dimanjakan menjadi juragan dalam perminyakan, tidak terlibat langsung dalam proses eksplorasi dan investasi infrastruktur, sehingga para investor yang datang ke Indonesia hanya bermodalkan uang tidak mampu menemukan sumber-sumber minyak yang potensial.

Banyak kontraktor yang merugi karena tidak mengetahui pasti keadaan sosial dan budaya ditempat mereka melakukan eksplorasi, pemerintah tidak turut campur tangan dalam hal ini, sehingga para investor menggunakan orang ketiga dalam penyelesaiannya.  Gejolak-gejolak sosialpun timbul didaerah-daerah potensi migas ini, masyarakat melakukan demo karena para investor tidak menghargai nilai-nilai budaya masyarakat setempat.  Misalnya yang terjadi di blok Cepu, dimana para akademisi dari Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta yang melakukan studi sosio-ekonomi disana menemukan bahwa ada tempat-tempat keramat masyarakat yang tidak boleh disentuh oleh pipa-pipa minyak. Hal-hal sepele seperti ini tidak dimengerti oleh investor sehingga bisa menimbulkan gejolak, seandainya pemerintah turut serta dalam kegiatan eksplorasi dan memberikan pemahaman keadaan budaya sosial di daerah tersebut maka hal-hal yang tidak diinginkan bisa dicegah.

Ancaman keamanan juga merupakan salah satu penyebab utama investor enggan berinvestasi di Indonesia. Sebut saja kasus yang terjadi di Aceh. Kasus penculikan karyawan PT Blade Energy, Sub Kontraktor PT Medco E&P Malaka di Kabupaten Aceh Timur. Kasus tersebut ternyata berpengaruh sangat besar terhadap citra Aceh di mata investor menurut Guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Ir Doddy Abdasah Msc PhD.  Belum lagi pencurian-pencurian amatir yang dilakukan oleh masyarakat setempat, berbagai teknik pencurian dipelajari oleh masyarakat untuk menjarah minyak-minyak yang siap jual, seperti membocorkan pipa minyak, membocorkan kendaraan pengangkut minyak.  Hal juga muncul dalam dialog interaktif di UPN Yogyakarta dengan tema “Problematika Lapangan Kegiatan Usaha Minyak di Indonesia” pada hari Kamis 19 September 2013 silam, dimana pemateri-pemateri dari SKK Migas, Pertamina, Investor Minyak, menyampaikan hal senada mengenai pencurian minyak yang ditanggapi beragam oleh akademisi dari UPN Yogyakarta dan Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta sebagai Universitas yang mencanangkan diri sebagai “University of Petroleum”.  Peran Polri dan TNI tentunya sangat diharapkan bisa memberikan rasa aman bagi para investor migas.

Tingkat kegagalan yang tinggi dari para investor yang mencari minyak membuat investor lainnya berpikir sepuluh kali lipat untuk berinvestasi di Indonesia.  Aussie B Gautama, Deputi Pengendalian Perencanaan SKK Migas mengatakan bahwa “Pengeboran eksplorasi migas di 16 blok laut dalam itu sudah dimulai sejak 2009. Hingga tahun ini telah dilakukan pengeboran 25 sumur eksplorasi yang menghabiskan biaya US$1,9 miliar, tetapi sampai sekarang belum menemukan cadangan migas yang komersil,” katanya di Jakarta, kala itu.  Jadi ada 12 investor yang merugi hingga Rp.19 Triliun.  Tentu saja hal ini membuat para investor takut berinvestasi di Indonesia dengan tingkat kerugian yang tinggi.

Apa yang menjadi penyebab investor ketakutan berinvestasi di Indonesia ? Tentu saja karena ketidakpastian hukum, masalah sosial budaya, dan tingkat keberhasilan yang rendah.  Ini adalah tugas kita bersama untuk meningkatkan perekonomian negeri ini dengan mendatangkan banyak investor ke Indonesia tanpa harus mencederai kemakmuran rakyat, tentunya hal ini harus didukung dengan produk hukum UU Migas yang membela masyarakat tetapi tidak merugikan investor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *