Kolom  

Hilangnya Tradisi Mendongeng Pada Masyarakat Gadget

Abad modern telah benar-benar meringkus manusia ke sebuah metafora besar; di mana perubahan nilai dan sikap tampak pada hal-hal yang matematis, praktis, dan pragmatis. Manusia seakan-akan telah mampu menciptakan takdirnya sendiri sesuai peradaban dan alat-alat canggih yang ditawarkan abad ini.

Teknologisasi dunia, yang membuat segala sesuatu menjadi mudah diterka, bahkan didapatkan, suatu kiblat bagi manusia untuk mencapai identitas serta kepuasan hasrat. Manusia pun memakai paradigma baru dalam menjalani kehidupan bersosial; hidup asal bahagia, sudah! 

Lalu terjadilah pergeseran nilai di sini. Kegiatan-kegiatan manusia beku dan stagnan, tanpa kreatifitas, miskin ide. Celakalah kebudayaan kita, sebab tanpa disadari paradigma berpikir manusia telah dikonstruk oleh egoismenya sendiri. Manusia pun bertindak jauh dari kebahagiaan cultural dan hanya terfokus pada kesenangan material.

Memang pada dasarnya manusia selalu takut untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi hari esok bahkan lusa, takut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Namun tak harus dari peristiwa itu, manusia melupakan takdirnya untuk menghargai kebudayaan berproses, menyeimbangi kehidupan antara senang dan bahagia. 

Upaya pragmatis manusia demi menghindari kesedihan dan ketidaksesuaian dengan keinginannya, dari itu manusia telah berani melupakan kegiatan berimajinasi. Imajinasi sebagai ruang lingkup manusia untuk mengeksplorasi nilai-nilai kehidupan untuk menemukan kehidupan yang lebih baru dan baik, di anggap sesuatu yang sia-sia. Padahal di situlah sebenarnya manusia berupaya menciptakan keberagaman kebahagiaan, kreatifitas menemukan kehidupan yang lebih orientatif. 

Kegiatan berimajinasi pada abad ini telah terasing dari peradaban manusia. Seperti halnya kegiatan sebelum tidur; dulu kita sebelum tidur dihadapkan pada dongeng. Banyak dongeng-dongeng yang telah nenek dan ibu kita dongengkan sebelum tidur. Di dalam dongeng itu, kita seperti diajak mengembarai sebuah hutan yang luas dengan pohon-pohon yang besar dan hijau, indah lagi menyenangkan. 

Imajianasi kita terbebas untuk mengembarai dunia dongeng tersebut. Membayangkan sosok di dalam dongeng itu adalah kita, menemukan tempat, dan pengalaman dramatik. Kita terhanyut ke dalam peristiwa, dan mengikuti alur cerita sampai mata kita benar-benar terpejam. 

Dalam proses dongeng tersebut kita juga menyadari bahwa itu hanya dongeng, hanya cerita penghantar tidur. Tapi pengalaman estetik ketika kita dihadapkan pada dongeng dan masuk kedalam alur ceritanya, senang dan sedih kita alami, bahkan sesekali tertawa nyaring atau menangis terisak. Di sinilah kita selalu diingatkan akan tindakan dan moralitas, dimana yang baik dan yang buruk, ketika kita dihadapkan pada realitas sosial kita bisa membedakan yang pantas dan tidak pantas, yang untuk kita dan bukan, bagaimana menyikapi realitas dengan jujur dan lapang dada.

Nah, sebanarnya itulah pengalaman estetik dalam proses menemukan kebahagiaan kultural dalam kehidupan ini. Nilai-nilai ideal dalam sebuah dongeng itu kita pelihara dalam lekuk memori. Supaya kita mendapatkan klarifikasi mental dalam menghadirkan nilai-nilai kultural yang berorientasi pada moral untuk menuntut hidup kita lebih baik kedepannya. Bambang Sugiharto juga pernah mengatakan moralitas tak pernah sehitam-seputih dan semudah hukum, ia (moralitas) berkaitan erat dengan intuisi terdalam manusia, yang pada gilirannya erat berkaitan pula dengan kemampuan menalar dan luasnya wawasan. 

Dongeng telah berhasil memasuki tubuh manusia, membentuk mental, di mana anak-anak yang masih baru berumur 3 bulan sampai 4 bulan sudah berani berimajinasi—menghadirkan realitas baru dalam kehidupannya. Dongeng seperti sebuah taman yang mengajak manusia untuk berlari dengan keindahan dan kesedihan, beragam peristiwa dramatik-estetik hinggap di dalam benak kita, dihayati, dinikmati hingga ketika seluruh peristiwa itu berbaur muncullah kreatifitas kehidupan di dunia ini.

Namun apakah benar di abad ini manusia masih bisa berimajinasi? Kehidupan yang makin pragmatis-materialistis telah mengambil jarak dengan tradisi berimajinasi. Aktifitas anak-anak yang sudah mulai terasing dari dongeng telah menimbulkan jarak komunikasi dengan orang tua. Medan keluarga sudah digeser ke ruang individualitas—anak-anak terlempar dari dunianya dan menemukan dunia baru yang dianggapnya lebih bagus dan baik; dunia virtual dengan wajah menakjubkan sekaligus nama yang miskin kreatifitas “gadget” dan televisi. Dunia baru ini mampu menyihir anak-anak ke sikap personal, individual, mental tidak stabil kemudian cenderung egoistik.

Anak-anak tak perlu dongeng lagi penghantar tidur, tidak butuh orang tua untuk menemani tidur di sampingnya. Cukup dengan kecanggihan gedgetnya anak-anak telah berani tidur sendiri, secara tidak langsung seorang anak telah memutus peran orang tua dalam menjaga dirinya untuk mendampingi (bisa diyakini dalam persoalan apa pun). Kemudian kebiasaan tersebut akan terus berlanjut jika orang tua menganggap hal demikian sebagai tindakan mandiri seorang anak. Tidak! Dalam persoalan apapun orang tua harus hadir di tengah aktivitas seorang anak sebagai controlling.

Karena anak-anak pada umumnya adalah generasi perawat kebudayaan. Menjaga kebudayaan lokal seperti dongeng sebagai identitas asli warisan nenek moyang—milik kita—supaya tidak tergerus oleh dunia digital—yang sengaja dicipta oleh orang-orang luar—sebagai hantu penghancur kebudayaan kita. Orang tua harus benar memfilter kegiatan anak-anak, tidak harus berprinsip asal bahagia! Tapi yang terpenting sekarang talian batin seorang anak dengan orang tua tetap terjalin, supaya proses regenerasi kekeluargaan dan berkebudayaan mampu menggiring anak-anak menghadapi pradaban digital tanpa membuang kebudayaan lokal.

Kita tidak bisa menolak perdaban digital ini, dan tak harus menolaknya. Tapi bagaimana kita dapat memposisikan kita di tengah—menyeimbangi peradaban modern dan kebudayaan lokal tanpa harus mengubur salah satunya. Yaitu kita tetap harus berimajinasi—membayangkan kebaikan-kebaikan tetap ada di masa depan.

 

*Pemerhati Budaya tinggal di Yogyakarta.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *