Labumi.id, Kecerdasan artifisial atau artificial intelligence, semakin inovatif. Robot hasil buatan manusia tidak hanya akan menggantikan manusia bekerja di pabrik-pabrik. Belakangan robot ini juga diciptakan untuk mengobati syahwat manusia berhubungan seks.
Kehadiran sextech jelas menuai kontroversi, baik dari kacamata kriminalitas maupun etik. Tapi para ilmuawan yang menciptakannya meyakini diciptakannya sextech bakal menghilangkan ragam penyakit kelamin yang ditularkan para PSK di rumah-rumah prostitusi dan bordil.
“Saya sudah siap ini, bagaimana denganmu? Saya harap kamu telah mempersiapkan diri. Saya siap menikmati waktu bersamamu, selalu,” ucap sebuah robot seks milik Santos ketika si ilmuwan menggodanya.
Santos dan istrinya memang disibukkan dengan bisnis robot seks yang mereka pasarkan pada harga 2.295 euro (sekitar Rp 38 juta).
Santos percaya kalau memiliki robot seks dapat mengurangi orang yang menyewa jasa prostitusi seperti PSK (pekerja seks komersial), bahkan sehingga dapat membantu melawan sex trafficking (penyelundupan manusia untuk tujuan seks)
“Haruskah kau menyelundupkan manusia? Hadirnya robot seks ini saya pikir sudah jelas tidak,” ucap Santos yang juga berupaya membuat robot seks laki-laki agar semua jenis kelamin bisa turut menikmati.
Santos meyakini bahwa sudah waktunya orang-orang menyisihkan uang mereka untuk boneka-boneka seks yang dipasarkannya.
Meski begitu, para ahli menyatakan masalah robot yang bertingkah seperti manusia ditangani secara serius oleh pemerintah dan publik.
Salah satu ahli yang menolak pemakaian robot seks sebagai solusi adalah Kathleen Richardson, seorang pakar etika dan pendiri Kampanye Melawan Robot Seks.
Ia menilai, kehadiran robot perempuan untuk melampiaskan nafsu seksual sebagai sesuatu yang problematis dan mengobjektifikasi perempuan.
“Saya tidak berpikir robot seks akan mengurangi sex trafficking,” ucapnya. Menurut Richardson, robot seks hanya akan menjadi “menu lain” bagi orang-orang yang menggemari pasar prostitusi.
Richardson menambahkan kalau boneka dan robot seks bisa menjadi berbahaya, contohnya dipakai sebagai sarana pelampiasan fantasi pemerkosaan dan pedofilia.
“Memberikan boneka seks sebagai ‘penyalur’ dan membuat orang berfantasi tentang hal itu adalah hal berbahaya,” ucap Richardson.
“Sangat luar biasa tidak bertanggung jawab bila mempromosikan cara berpikir demikian pada masyarakat,” lanjut wanita yang sudah mempelajari ilmu robotik selama 10 tahun ini.
Selama ini, memang ada anggapan bahwa robot seks adalah salah satu “solusi” untuk mengatasi pedofilia. Kenyataannya, menurut dia sebaliknya.