Selain masalah etik, menteri Jokowi-Ma’ruf Amin juga disandera dugaan korupsi. Menteri Dalam Negeri yang baru, Tito Karnavian diduga terlibat dalam kasus dokumen buku merah.
Buku merah adalah sebutan untuk catatan transaksi keuangan perusahaan milik pengusaha impor daging Basuki Hariman. Hariman merupakan terdakwa kasus suap kepada Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam uji materi undang-undang peternakan dan kesehatan hewan.
Dalam buku itu, diduga ada sejumlah nama pejabat penting yang menerima uang dari Basuki, termasuk Tito. Tito tercatat menerima aliran uang sebanyak sembilan kali dengan total Rp8,1 miliar.
Saat dikonfirmasi oleh tim Indonesia Leaks soal namanya dalam buku merah, dia hanya mengatakan “sudah dijawab oleh humas.” Barang bukti penting itu dirusak oleh dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur kepolisian.
Dalam rekaman kamera pengawas (CCTV) dua penyidik, yakni Roland Ronaldy dan Harun tertangkap kamera sedang melakukan perusakan buku merah di ruang kolaborasi lantai 9 gedung KPK pada 7 April 2017. Tidak hanya merusak, Roland juga mengganti BAP Kumala Dewi Sumartono, sekretaris Basuki. Dalam BAP yang dibuat Roland, catatan aliran uang dalam buku merah dihilangkan.
Padahal, aliran dana yang tercantum dalam buku merah menjadi salah satu poin dalam BAP sebelumnya yang dibuat oleh Surya Tarmiani. Roland dan Harun kemudian dikembalikan KPK ke institusi Polri.
Namun alih-alih mendapat sanksi dari Polri, keduanya justru mendapat promosi. Roland menjadi Kapolres Cirebon, sedang Harun berkesempatan mengikuti sekolah pimpinan (Sespim) Polri. Setelah perusakan itu, polisi menyita barang bukti buku merah dari KPK. Alasannya untuk menindaklanjuti dugaan perusakan buku merah.
Tapi pada akhirnya polisi pun menyebut keduanya tak terbukti melakukan perusakan. Sementara itu, dugaan aliran uang seperti yang tercatat dalam buku merah itu sampaikan kini tidak pernah diungkap. Barang bukti buku merah itu tidak pernah diungkap oleh polisi.
Selain Tito, ada juga nama Zainudin Amali yang jadi Menteri Pemuda dan Olahraga. Zainudin terseret sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2014.
Saat itu Zainudin pernah dimintai uang sebanyak Rp 10 miliar oleh Akil dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2014. Pembicaraan itu terjadi dalam blackberry messenger Oktober 2013.
Ia mengakui bahwa permintaan itu datang dari Akil dengan tawaran kemenangan pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf. Keduanya diusung oleh beberapa partai, salah satunya Partai Golkar. Kasus lain yang menyeret nama Zainudin adalah suap terhadap menteri ESDM, Jero Wacik.
Pada 2014 Zainudin pernah dipanggil sebagai saksi untuk tersangka mantan Sekjen ESDM Waryono Karno. KPK bahkan pernah menggeledah rumah Zainudin saat ia masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR.
Saat bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan, Zainudin mengaku diminta menandatangani pakta integritas yang menyatakan dirinya tidak terlibat kasus korupsi. “Iya teken pakta integritas, isinya kerja dengan baik akan menjalankan tugas sesuai undang-undang dan peraturan yang ada,” ungkap Zainudin.
Ironi Pemberantasan Korupsi
Usai mengumumkan nama-nama kabinetnya, Jokowi berpesan kepada menterinya agar tidak melakukan korupsi. Pesan ini justru berkebalikan dengan keputusan Jokowi yang justru melibatkan Tito dan Zainudin dalam kabinetnya.
Jokowi pun tidak lagi menggandeng KPK untuk menelusuri rekam jejak calon menterinya. Padahal pada periode pertama, Jokowi menggandeng KPK untuk memberikan catatan terhadap calon menterinya. Itu yang membuat Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari kecewa.
“Dulu Pak Jokowi menggunakan KPK untuk membangun citra kabinet yang anti-korupsi. Sekarang kan fokusnya berbeda,” kata Feri kepada Tirto.
Tahun ini, pemerintahan Jokowi menyepakati revisi Undang-undang KPK yang justru melemahkan KPK. Revisi ini membuat mahasiswa di pelbagai wilayah di Indonesia menggelar demo besar-besaran.
Sebelum polemik revisi UU KPK, pemilihan Pimpinan KPK juga menjadi sorotan publik. Terutama terhadap ketua KPK terpilih, Firli Bahuri. Firli dinilai tidak layak karena memiliki rekam jejak masalah etik semasa ia bertugas di KPK.
“Jadi ya sudah, dia menjalankan kepentingan dia dan kelompoknya saja. Jokowi dan partai politiknya saja,” kata Feri.
Kata Feri, ada figur-figur tertentu yang kalau diberikan kepada KPK akan menjadi bahaya merah [rapor merah]. Bukan tidak mungkin Jokowi mau menghindari polemik. Dengan tidak digunakannya KPK dalam pemilihan menteri, Feri meyakini mantan Gubernur DKI Jakarta itu bukanlah figur yang benar-benar peduli pada pemberantasan korupsi. Padahal, ada banyak orang di Indonesia yang sama—atau lebih berkapasitas dapat menduduki jabatan menteri dan juga bersih dari korupsi. (Felix Nathaniel/tirto)