Labumi.id, Di tengah keterbatasan pandemi, sidang tandingan yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil sebagai penolakan atas disahkannya revisi Undang-Undang Nomer 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Sidang Paripurna DPR digelar secara virtual dari kanal Youtube dan platform Facebook selama empat hari berturut-turut, mulai hari Jum’at (29/05/2020) sampai Senin (01/06/2020).
2000 komunitas lebih dari Sumatera hingga Papua yang ikut dalam sidang tanding kolalisi masyarakat sipil bertajuk #Bersihkan Indonesia ini, di antaranya ada Sains Sajogyo Institut di Bogor, Greenpeace Indonesia, ICW, JATAM,JATAM Kaltim, WALHI, Yayasan LBH Indonesia, LBH Yogyakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Surabaya,LBH Padang, AURIGA Nusantara, WALHI Jabar, WALHI Kalimantan Selatan, WALHI Sumatera Barat, KIARA,Trend Asia, Kanopi Bengkulu, ENTER Nusantara, FNKSDA, Srikandi Lestari, 350.org Indonesia & FB Jejaring, AEER.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] yang juga juru bicara #BersihkanIndonesia, Merah Johansyah menyatakan ketika Undang-undang Minerba disahkan pada tanggal 12 Mei 2020 tidak melibatkan masyarakat. DPR tidak memberikan hak bersuara, hak veto dan hak berkata tidak kepada warga yang menolak tambang.
Menurut Merah, 90 persen isi Undang-undang Minerba tidak mewakili kepentingan warga terdampak pertambangan hulu-hilir batu bara. Sebaliknya, undang-undang tersebut mewakili elite oligarki.
“Saya kira ini merupakan waktu yang tepat mendeklarasikan bahwa undang-undang tidak legitimate, tidak sah dan batal demi hukum rakyat,”papar Merah.
Hal senada juga disebutkan Iwan Kurniawan dari Aliansi Masyarakat (AMPEL) Kuningan. Menurut dia UU Minerba yang disahkan merupakan hasil dari pernikahan jadah antara DPR dan Pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
“Itu juga membuktikan bahwa pemerintah dan DPR buta mata dan buta hati,”kata Iwan Kurniawan.
Saat ini, kata Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati, ruang darat sudah habis dikeruk melalui UU Minerba. Kita mengalami ancaman pada perampasan ruang hidup di laut, landasan kontinen pulau-pulau kecil, perairan maupun pesisir.
Hal itu disebut Susan, sebagai sebuah proses ekstraksi baru yang cukup serius dan masuk kepada kehidupan masyarakat bahari. Dan disahkannya UU Minerba, seperti gelar karpet merah dari pemerintah kepada pengusaha tambang untuk mengusai wilayah pertambangan tiada batas.
Padahal menurut pakar Agraria Gunawan Wiradi, dibutuhkan atau tidak adanya suatu undang-undang harus dilakukan penelitian terlebih dahulu. DPR maupun pemerintah harus memperhatikan hal tersebut. Saat ini, menurut Wiradi, sudah jauh menyimpang dari cita-cita proklamasi 1945, tambang dan sumber daya alam sudah dikeruk habis-habisan tanpa memperhatikan dampaknya. (Red)