NEGARA dalam sistem republik umumnya berpangku pada pandu kuasa politik lembaga eksekutifnya. Harapan terbangunnya kelompok oposisi nasional sudah luruh seiring tuntasnya bagi-bagi “kue kekuasaan” di lingkaran eksekutif, yudikatif, dan legislatif.Kini hampir tak ada hambatan serius lembaga eksekutif mengeksekusi lima fokus agenda nasionalnya, yakni pembangunan sumber daya manusia, pelanjutan pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi dan transformansi ekonomi.
Perintah politik nasionalnya jelas, “amankan investasi”! Artinya, segala hal yang dianggap (akan) menghambat atau mengganggu lima tujuan pelanjutan pembangunan di atas akan “berhadapan dengan kekuatan politik negara” dengan seluruh perangkatnya, termasuk TNI dan Polri.
Inilah akar dan hulu argumen dari kebijakan revisi beragam RUU terkait sumber daya alam, pertanahan, ketenagakerjaan, keterbukaan informasi, disfungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga omnibus law . Implikasi lainnya, muncul kembali cara-cara model Orde Baru atas nama dan demi mengamankan “stabilitas (investasi) ekonomi dan politik nasional” berupa represivitas, kekerasan, kriminalisasi, pembungkaman suara kritis, penangkapan aktivis/petani/masyarakat adat, serta pendekatan keamanan lainnya.
Menguji Investasi; Siapa Dilayani?
Tak ada yang tak ingin pembangunan dan perubahan di negeri ini. Mari melampaui debat kusir soal bad or good investasi. Tapi, apa sebenarnya akar masalahnya, kok karpet merah investasi untuk lima agenda nasional itu jawabnya? Apakah syarat-syarat kedaulatan dan keadilan sosial-ekologis telah terpenuhi sebagai dasarnya? Siapa yang paling banyak diuntungkan dan dirugikan dalam model kebijakan “ramah investasi” sekarang? Apakah investasi berarti mengurangi ketimpangan struktural atau sebaliknya, malah melanggengkan?
Menurut Penulis, setidaknya ada tiga uraian untuk mendiskusikannya: (1) Mazhab pembangunan yang dianut dan imani negara; (2) Jenis kuasa oligarki politik ekonomi yang sedang bertahta; dan (3) dampak dan bencana ekologis yang ditimbulkannya.
Tren kebijakan koridor ekonomi global tampak telah menjadi “jalan tempuh” pembangunan nasional, melanjutkan kebijakan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di era sebelumnya. Doktrinnya, ekonomi nasional tidak akan maju tanpa interkoneksi dan integrasi seluruh dimensi ekonomi.
Pembagian koridor-koridor wilayah ekonomi yang disusun harus tersambung melalui pembangunan infrastruktur. Syarat utamanya hal-hal yang masuk kategori “debottlenecking” penghambat investasi harus dipangkashilangkan atau dilemahkan.Melalui anjuran para konsultan pembangunan skala global, koridor ekonomi butuh paket kebijakan yang mengintegrasikan dan menginterkoneksikan jenis-jenis pembangunan yang selama ini terpisah, yakni ekstraksi sumber daya alam, pengembangan kota-kota metropolitan baru, pembangunan infrastruktur, dan kawasan-kawasan industri baru. (ERIA, 2018).Tak heran jika kebijakan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), ibu kota baru, dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang terhubung kuat dengan empat paket koridor ekonomi di atas digenjot jadi target prioritas nasional. Inilah jenis pembangunan nasional yang tampaknya dipilih pemerintah sekarang/ke depan.
Laporan terbaru Sajogyo Institute tentang Koridor Ekonomi (2019) menunjukkan ada korelasi kuat kebijakan koridor ekonomi ini dengan pelanjutan agenda MP3EI yang terhubung dengan “reorganisasi dan rekonfigurasi” ruang skala global untuk perluasan produksi, distribusi, dan reproduksi kapital. Maka jelas, tujuan pertumbuhan, masih akan minus pemerataan dan keadilan.
Oligarki Pasca Orba
Lalu, siapa yang punya kuasa utama ekonomi politik nasionalnya? Seperti banyak ditunjukkan studi dan kajian kritis tentang politik pasca-Soeharto, bahwa para konglomerat dan oligarki warisan era Orde Baru telah sukses merestorasi dan melakukan metamorphosis kekuatan gurita ekonomi-politiknya seiring dinamika di setiap rezim kepemimpinan nasional dan masih bercokol kuat hingga sekarang ini.Proses “reorganizing” dan transformasi kekuatan politik oligarki warisan Orde Baru berjalan sukses selaras garis pilihan politik-ekonomi negara yang mengimani mazhab ekonomi neoliberal. (R. Robinson dan Vedi R Hadiz, 2004).
Bedanya, jika di era Orde Baru kekuatan oligarki “predatoris” ini melanggengkan dominasinya melalui instrumen otoritas sentral negara, di era pasca-Soeharto, dilakukan melalui berbagai partai politik, pemilu, parlemen dan disentralisasi (Vedi R Hadiz, 2005). Maka praksis sebenarnya tidak ada “pemain” yang sama sekali baru.
Setidaknya, pasti terhubung dengan oligarki lama sejak Era Orde Baru hingga sekarang. Merujuk empat jenis oligarki JA Winter (Oligarki , 2011) dan melihat ulang realitas sosial-politik di Indonesia sekarang, tampak ciri-ciri umumnya mengarah pada jenis oligarki “penguasa kolektif” dan terhubung dengan watak oligarki sipil.
Sebab, ada relasi kuasa yang kuat antara kuasa negara (eksekutif), legislatif, dan yudikatif secara politik. Ditambah fakta mayoritas para elite politiknya sekarang adalah politisi cum pengusaha/pebisnis. Padahal hakikat tujuan keduanya beda; antara demi pengabdian kepada rakyat-negara dan demi pelipa tangan dan keuntungan ekonomi.
Selaras dengan kuatnya gurita oligarki politik kekuasaan di atas, menarik melihat temuan evaluasi 5 tahun KPK Gerakan Nasional Penyelamatan SDA (2019) yang menunjukkan bahwa korupsi sumber daya alam di Indonesia berakar pada masalah kait-kelindan praktik state-captured corruption. Hal ini akibat dari makin lemahnya fungsi otoritas kelembagaan negara, kuatnya psudo legal dari kuasa “institusi alternatif” oleh suatu jaringan yang dipelihara kekuasaan secara de facto lebih besar daripada kekuasaan legal negara, yang mana sumber daya sosialnya juga berasal aparat-aparat negara dan jejaring oligarki korporasi.
Kesimpulannya, kuatnya oligarki korupsi sumber daya alam itu telah menggeser bentuk korupsi di sektor sumber daya alam dari bentuk korupsi bersifat institusional (institusional corruption ) menjadi korupsi bersifat struktural (structural corupption ).
Ketimpangan dan Bencana Ekologis
Pertanyaan penting yang layak diajukan atas satu kebijakan negara adalah masalah rakyat mana yang hendak dijawab dengan investasi mazhab pertumbuhan ini? Merujuk “sinyalemen singkat” Prof Sajogyo di era 80-an, bahwa jika pertumbuhan yang diutamakan, maka jelas perusahaan (besar) itu akan dimenangkan dan rakyatnya dikalahkan. Sebaliknya, kalau pemerataan yang dimenangkan, maka petani kecil ada harapan untuk (hidup) dengan baik.
Inilah yang terjadi sekarang, ujung investasi dengan model pertumbuhan ini hanya menguntungkan segelintir orang dan kelompok di “pangkal pipa” tak pernah sungguh-sungguh menetes di ujung pipa. Akibatnya, jurang ketimpangan struktural bertambah lebar.
Laporan Bank Dunia (2018) menyebutkan empat ketimpangan, salah satunya persoalan pemusatan kekayaan yang tinggi di Indonesia. Sebanyak 10% orang kaya memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Pundi-pundi uang yang didapat dari aset finansial dan fisik mengalir hanya ke kantong para orang kaya sehingga penghasilan yang didapat lebih besar.
Korupsi menjadi salah satu alasan di balik munculnya fenomena pemusatan harta kekayaan ini. Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TP2K, Oktober 2019) lalu menunjukkan 1% orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10%, maka keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya 90% penduduk memperebutkan 30% sisanya.
Bercokolnya oligarki membuat kue ekonomi nasional tumbuh, tetapi tidak merata. Koefisien gini turun sedikit, begitu pun rasio gini penguasaan tanah. Secara nominal, kekayaan 50.000 orang terkaya setara dengan gabungan kepemilikan 60% aset penduduk Indonesia atau 150 juta orang. Soal ketimpangan struktural juga bisa dicerminkan masih tingginya penguasaan lahan oleh segelintir orang dan kelompok korporasi tertentu. Dengan mendudukkan ketimpangan sebagai problem struktural, maka bisa jadi satu proyek pembangunan mampu menurunkan angka pengentasan kemiskinan, tapi tidak otomatis mengurangi ketimpangan. Selain ketimpangan, masalah bencana ekologis masih menjadi persoalan yang terwariskan. Tahun 2019 lalu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) merilis laporan menantang dengan mengajukan “kategori” istilah ECOSIDA untuk menunjukkan tiga kasus bencana ekologis di Indonesia, yaitu lumpur panas Lapindo di Jawa Timur, kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah, dan Pembangunan PLTA Koto Panjang, Riau.
“Perjuangan kategoris” ini penting untuk menjadi “representasi” ragam krisis dan bencana sosial-ekologis yang marak di sekujur Nusantara hingga hari ini sehingga tak cukup lagi dikategorikan dalam standar bencana dan krisis ekologis biasa. Sebab, yang rusak, tercemar, dan hilang bukan semata sumber pangan, sumber ekonomi, atau ekosistem alam (sawah, hutan, danau, gunung, pesisir, laut, dll), tapi juga hilangnya tradisi, budaya, hingga peradaban manusianya.
Penting menjadi refleksi awal 2022 nanti, “sebenanya apa sih, imajinasi perubahan pembangunan yang hendak diwujudkan di republik ini? Kenapa makin hari justru menjauh dari cita-cita proklamasi? Siapa hakikatnya yang hendak dipihaki dari undangan dan ekspansi investasi? Akhirnya, mari panjatkan doa di awal tahun ini, “semoga di negeri tercinta ini, Sila Kedua dan Kelima Pancasila tidak kembali jadi anak tiri lagi, kalah dengan anak emas bernama investasi”. Amien.
* Direktur Sajogyo Institute Periode 2015- 2018, Pengajar di Fakultas Ekologi Manusia IPB
* Tulisan ini juga terbit di Sindonews