Kolom  

Reforma Agraria di Bumirejo Malang Tak Kunjung Tercapai

Reforma agraria dari bawah (landreform by leverage) di Bumirejo Malang tak kunjung tercapai, terbentur kriteria clean and clear yang cenderung elitis dan tidak berpihak pada tuna kisma (landless).

Pelibatan rakyat tuna kisma (landless) dan petani gurem (berlahan sempit ­< 0,5 ha) dalam agenda RA merupakan subjek utama dari penentuan lokasi Tanah Objek Reforma Agraria, dan untuk itu, inklusi kebijakan terhadap golongan ini menjadi kunci penting dalam program Reforma Agraria nasional. Ini untuk memastikan kebijakan RA berjalan sesuai dengan tujuannya, yaitu menciptakan keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan.

Agenda Reforma Agraria muncul satu decade silam dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR ini mengamanatkan penataan ulang struktur argraria (landreform) dengan tetap mengacu, antara lain, kepada keutuhan NKRI dan memastikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Bagi warga masyarakat eks-perkebunan Kalibakar Bumirejo Kabupaten Malang ini merupakan angin segar.

Sejak TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 ditetapkan, agenda pembaharuan agraria melambat tak kunjung muncul secara tegas dalam kebijakan pemerintah. Dalam masa pemerintah Presiden Joko Widodo barulah terbit Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Landreform/Reforma Agraria. Meski perpres ini memberi harapan rupanya tetap terasa berat bagi rakyatBumirejo Kalibakar untuk mendapatkan hak atas tanah yang bergelimang konflik dan sengketa. Penetapan kriteria tanah sebagai obyek RA (TORA) harus clean and clear (bersih dan jelas) sebagai syarat telah menjegal aspirasi dan upaya perjuangan mereka untuk memperoleh tanah.

Desakan reforma agraria di Kalibakar Bumirejo Kabupaten Malang luput tertangkap kebijakan kriteria TORA (Tanah obyek Reforma Agraria). Pasalnya kriterai TORA yang mensyaratkan lahan harus clear and clean menghambat proses pendataan dan inventarisasi tanah di sana. Rupanya persepsi sektoral atas syarat clear and clean dengan persepsi dan harapan yang dibangun oleh warga masyarakat di bawah tidak ketemu. Ini menjadi temuan riset lembaga (Sajogyo Institute) dalam memahami dinamika landreform ‘by leverage’ di Kabupaten Malang.

Sehingga kriteria TORA lahan harus ‘bersih dan jelas’ (clean and clear) perlu mendapat catatan kritis di sini.

Asal Mula Kasus

Desa Bumirejo kecamatan Dampit, kabupaten Malang merupakan salah satu desa yang terokupasi oleh ‘hak erfpacht verponding’ perkebunan Belanda di masalalu dengan total luas 4.826,84 ha. Di dalamnya terdapat empat perusahaan Belanda yaitu: Nv. Mij te Exploitatite Van Land Petung Ombo, Nv. Mij te Exploitatie Van het Land Sumber Telogo, Nv. Cultuur Mij Kalibakar, dan Nv. Zuid Dreanger Rubber Mij. Kompleks perkebunan ini kemudian dikenal sebagai Perkebunan Kalibakar.

Perkebunan Kalibakar yang mencakup Desa Bumirejo, dan beberapa desa lain di Malang selatan, pernah masuk dalam daftar Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang dibuat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Menurut warga, tanah tersebut merupakan milik nenek moyang mereka yang dirampas oleh Belanda dengan mekanisme Hak erfpacht. Tanah tersebut diambil dengan ganti rugi kain sepanjang 3 meter bagi setiap pemilikinya. Dengan dalih “diambil sementara”, tanah tersebut nanti akan dikembalikan ke warga petani. Ironisnya, di saat warga Kalibakar sedang sabar menunggu masa habisnya hak erfpacht tersebut, Negara Republik Indonesia mengambil alih tanah itu melalui UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, tanpa berembug dengan mereka.

Tindakan pengambilalihan tanah yang dilakukan oleh pemerintah ini memukul harapan warga Desa Bumirejo, eks Kalibakar dan mewariskan konflik agraria antara rakyat petani penggarap dengan pihak perusahaan BUMN/PTPN XII, Kabupaten Malang, Jawa Timur, hingga sekarang.

Sebelumnya, warga dari lima desa juga di tiga kecamatan Dampit, Ampelgading, dan Tirtoyudho telah menggarap lahan di Kalibakar sejak tahun 1942 silam, yakni ketika pendudukan Jepang. Di masa perang gerilya, desa-desa ini menjadi desa darurat yang menyediakan pasokan pangan dan baju bagi pejuang gerilya.

Pada saat dikeluarkan kebijakan RA (Perpres No 86/2018 tentang Landreform), lokasi ini tereksklusi dari daftar tanah obyek Reforma Agraria. Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Malang tidak memasukkannya dalam daftar usulan TORA, hanya karena tidak memenuhi kriteria clean and clear. Padahal lokasi tersebut cukup data untuk bisa di-chek-rechek riwayat penguasaan dan pemilikan tanahnya.

Sudah hampir 27 tahun konflik lahan antara Warga petani di desa Bumirejo Kalibakar dengan perusahaan PTPN XII(BUMN), Kabupaten Malang, Jawa Timur belum kunjung usai. Meski HGU perkebunan PTPN XII kedaluwarsa sejak tahun 2013 lalu.

Upaya untuk memperoleh lahannya kembali telah dicoba warga dengan berbagai mekanisme. Mulai dari aksi pendudukan, atau reklaiming yang dilakukan oleh warga sendiri, hingga pengajuan melalui tata usaha administrasi birokrasi serta audiensi bersama elit politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang. Ironinya, pemerintah melalui PTPN XII masih belum memiliki komitmen politik untuk melepaskan lahan yang kini tidak lagi dikuasai (kedaluwarsa).

Ketimpangan Struktur Agraria

Penguasaan tanah oleh PTPN XII di tiga kecamatan tersebut begitu dominan. Sementara, rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga petani (RTP) di ketiga kecamatan hanya sebesar 0,2 ha. Rupanya 0,2 ha itu luas penguasaan tanah paling sempit di Desa Bumirejo. Jumlahnya menempati populasi rumah tangga terbanyak. Ketimpangan ini begitu tajam, indeks gini rasio penguasaan tanah di Bumirejo saat ini 0,42 poin.

Angka ini bisa dibilang cukup tinggi untuk angka ketimpangan penguasaan tanah di tingkat lokal, meski masih jauh lebih rendah jika dibandingkan ketimpangan penguasaan tanah secara nasional yang indeks gininya mencapai 0,68. Artinya, petani lahan sempit alias petani gurem, masih dominan sampai sekarang.

Penguasaan tanah yang sempit membuat warga tidak mampu menjalankan produksi dan reproduksi dengan baik. Ditambah lagi, terjeratnya warga kedalam mekanisme hutang-piutang rentenir sebagai “strategi harian” bertahan hidup, akhirnya membawa mereka masuk kedalam spiral kemiskinan yang makin pelik.

Ada tiga problem utama agraria di desa-desa eks perkebunan Kalibakar yang tidak pernah coba diselesaikan oleh negara.Pertama, ketimpangan struktur agraria antara penguasaan lahan oleh PTPN XII dan area lahan garapan milik warga.Kedua, status tanah sengketa antara PTPN XII dengan penduduk desa Bumirejo belum diselesaikan. Ketiga, praktik perburuhan harian lepas (BHL) dalam kontrak jangka panjang, dengan kondisi kerja yang tidak layak, upah murah per 15 hari, dan manajemen anti kritik.

Ketiga problem ini merupakan benang kusut yang menghasilkan persoalan sosial, salah satunya spiral kemiskinan. Ada juga siasat bertahan hidup dari warga dengan membuka usaha-usaha non-pertanian (non-farm), jadi pekerja informal dan buruh di daerah-daerah lain hingga ke luar negeri. Semua itu merupakan rupa-rupa keterdesakan hidup yang dialami oleh warga desa Bumirejo.

Arkian, kriteria TORA bahwa tanah harus clear and clean dari konflik agraria merupakan pensyaratan Reforma Agraria yang cenderung “menghindari masalah”—bukan “bekerja” untuk menyelesaikan masalah. Kriteria ini menimbulkan ambiguitas kebijakan Reforma Agraria saat ini. Kebijakan RA seharusnya bertujuan untuk mengurai masalah agraria, menghapuskan konflik agraria (atau setidaknya menguranginya) dan menghapus ketimpangan penguasaan tanah—alih-alih menghindarinya.

Elan vital Refroma Agraria sebenarnya untuk memecahkan masalah konflik agraria, mewujudkan keadialan sosial berdasarkan penghapusan ketimpangan struktur penguasaan tanah, dan pemerataan kesejahteraan. Karena itu, penetapan kriteria TORA ini tidak sesuai dengan tujuan RA dan terkesan ditentukan dari Atas (Top-down). Padahal penetapan TORA semestinya berkorelasi dengan tujuan RA yang dilakukan secara “Buttom-up” atau tumbuh dari bawah (Landreform by leverage) melalui usulan-usulan dan keterlibatan aktif masyarakat dan organisasi rakyat di desa sehingga subyek maupun obyek RA tepat sasaran. []

—————————————

*) Peneliti Sosial-ekonomi Perdesaan, Wartawan kerja-lepas (freelancer), pegiat Studi Pembaharuan desa & Agraria di Sajogyo Institute, Bogor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *