Kenyataan hidup, bahwa manusia berada pada batas dan antara. Pada batas potensi dalam proses menjadi, di antara ada dan tiada, di antara satu dengan lainnya, dimana pada gilirannya, disadari atau tidak, mengarahkan manusia pada pertanyaan, jawaban, dan pemahamannya tentang dzat wajib al-wujud. Tuhan yang menguasai hidup.
Kehadiran agama dan sistem kepercayaan adalah penegasan dalam bentuk doktrin ajaran dan sistem perilaku. Kendati cenderung bersifat formal dan terlembaga, namun agama menghendaki hidup pada diri setiap pemeluknya. Entah, bagaimana rupa-rupa manusia pada bingkai religiusitas. Rupa-rupa dari sesuatu yang tersembunyi pada setiap diri.
Titik utama religiusitas terletak pada pandangan manusia tentang Tuhan. Secara teologis, hal ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan hadir bersama “benih” dalam diri setiap manusia sejak kelahirannya. Dikenali dengan istilah fitrah atau potensi-potensi kemanusiaan, baik spiritual, rasional, maupun gerak-laku. Tentang ada-Nya, yang diimani dan dingkari, yang diingat dan kerap terlupakan.
Pada ilustrasi ideal sebuah bangunan piramidal, tajug misalnya, titik itu adalah titik puncak. Simbol dari nilai ketuhanan, yang menggerakkan nilai-nilai kemanusiaan—pada keempat sisi bidang dari empat arah—. Simbol dari transendensi yang menjiwai dan menjadi arah dari pluralitas kehidupan manusia, seperti yang disimbolkan pada “ruang dalam”. Barangkali, bentuk tajug ini hadir pula menginspirasi para tokoh bangsa ketika memperkenalkan Pancasila, dimana satu nilai Ketuhanan (Yang Maha Esa) dan empat nilai kemanusiaan dalam konteks ke-Indonesia-an tergambar di sana.
Seperti diketahui, Pancasila diperkenalkan sebagai hasil kristalisasi nilai dari kehidupan masyarakat yang telah berlangsung lama di kepulauan Nusantara. Pada keberadaannya sebagai nilai-nilai, Pancasila berproses dalam “bhinneka tunggal ika”, kehidupan masyarakat yang kental dengan nuansa religiusitas. Dan tampaknya, kebudayaan masyarakat pun berkembang pada kerangka spiritualitas.
***
Hadirin yang saya hormati
Dalam bukunya berjudul, “Sastra dan Religiositas”, Y.B. Mangunwijaya mengemukakan pernyataan bahwa, pada awal mula, segala sastra adalah religius. Pernyataan yang hadir bersama delapan belas esainya yang mengkaji beberapa karya sastra Indonesia. Karya dari para sastrawan yang lahir dan tumbuh dalam kebudayaan masyarakat yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karya dari para sastrawan yang notabene juga seorang penganut agama atau kepercayaan tertentu. Pada titik ini, muatan nilai-nilai keagamaan, dalam kadar dan ragam ekspresi tertentu, menjadi sesuatu yang tidak bisa dilupakan, sekaligus menjadi buhul kaitannya.
Pernyataan di atas juga menegaskan kedekatan hubungan antara sastra dan agama. Hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa kitab suci hadir dalam bahasa sastra, sementara karya-karya sastra—pada awalnya— hadir dengan spirit kitab suci. Memang, karya sastra bukan kitab ajaran agama. Kehadirannya lebih menunjuk pada “ruang-ruang kesadaran” dalam memandang hidup dan kehidupan manusia, melihat diri sendiri, yang tidak bisa dilepaskan dari kemisteriannya. Misteri manusia yang tak kuasa atas diri sendiri, bersama kebebasan dan pilihan hidup. Entah, menjadi apa.
Salah satu fenomena dari hubungan sastra dan agama, yakni eksplorasi dan penegasan nilai-nilai keagamaan yang terjadi di paruh kedua abad ke-20. Tidak hanya dalam teks sastra, tetapi juga dalam bentuk wacana. Misalnya sastra religius, sastra profetik, sastra sufistik, sastra transendental, dan sebagainya. Termasuk wacana sastra pesantren (religio-kultural). Terlepas dari polemik yang menyertai, baik mengenai interpretasi wacana, proses kreatif, kadar kesastraan, dan lain-lain, tidak bisa dipungkiri, keberadaan sastra bernuansa keagamaan menjadi arus besar dalam perkembangan sastra Indonesia dewasa ini.
Pada sudut pandang lain, barangkali ada juga yang mengungkapkan bahwa sastra adalah filsafat. Dalam arti misalnya, karya sastra lahir dari pergulatan pemikiran mengenai permasalahan terkait eksistensi manusia, baik yang muncul dari dalam maupun dari luar dirinya. Tentu, hal ini sah-sah saja. Begitu pula polemik yang kemudian terjadi sebagai konsekuensinya.
***
Hadirin yang saya hormati
Sebagaimana diketahui, agama dan filsafat menjadi muatan yang kerap muncul dalam karya sastra. Agama dan filsafat juga kerap memicu perdebatan, utamanya tentang posisi antara wahyu dan akal dalam upaya menjawab persoalan terkait eksistensi manusia. Di kalangan umat, tak jarang dari mereka bersikap apatis dan menjauhi filsafat. Bahkan karena stigma tentang kebebasan akal yang terlalu, terkadang filsafat diperlakukan sebagai “musuh” bagi agama. Tentunya, hal ini kontradiktif dengan pesan kitab suci, misalnya al-Qur’an, yang menyuruh manusia agar menghidupkan akal pikiran, seperti dalam ungkapan afala ta’qilun, afala tatafakkarun, dan afala ta’lamun, terutama untuk menguji kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Hal yang perlu digarisbawahi, bahwa pertemuan agama dan filsafat, pertemuan wahyu dan akal, merupakan pertemuan yang membuka pintu religiusitas pada diri manusia, bersama kelindan pengalaman di belantara semesta, baik dalam hubungan dengan Tuhan maupun dengan sesama. Pertalian dari semua hal tersebut, bisa ditilik kembali pada muatan dalam istilah religiusitas itu sendiri.
Berasal kata religio dari kata latin relego, yang berarti memeriksa lagi, menimbang, merenungkan keberatan hati nurani, seperti menegaskan bahwa bangunan religiusitas mengisyaratkan “pertemuan” dimensi batin dan dimensi rasional yang berlangsung terus-menerus bersama pengalaman hidup sehari-hari. Karena itulah, istilah religiusitas umumnya diartikan lebih luas daripada agama. Y.B. Mangunwijaya, misalnya, menjelaskan religiusitas lebih melihat aspek yang hidup “di dalam lubuk”, riak getaran hati nurani, sikap personal yang menjadi misteri bagi orang lain, karena mencakup totalitas dalam pribadi manusia. Ringkasnya, religiusitas mengarah pada “agama yang hidup” pada diri seseorang, penghayatan manusia terhadap imannya.
Tentang potret ideal religiusitas, barangkali kita bisa meniliknya pada sebutan ulul al-albab dalam al-Qur’an, yakni sebutan khusus yang diberikan kepada pribadi manusia, yang memadukan antara dzikir, fikr, dan amal shalih. Hal yang sekaligus menyiratkan hidupnya potensi-potensi kemanusiaan pada diri seseorang, baik spiritual, rasional, maupun gerak laku.
***
Hadirin yang saya hormati
Berhadapan dengan sastra keagamaan yang menjadi arus besar dalam sastra Indonesia, tentu butuh waktu yang tidak sebentar dan kerja yang lebih keras untuk mengeksplorasi wacana relegiusitas yang hadir di sana, baik fiksi maupun puisi. Akan tetapi, dalam batasan judul “Meneroka Religiusitas dalam Sastra Indonesia Mutakhir: Sastra dan Refleksi Keberagamaan Umat Beragama”, pada kesempatan ini izinkan saya mengemukakan sekilas dari catatan kesan terhadap dua karya, yaitu novel berjudul Hubbu karya Mashuri dan novel berjudul Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan.
Seperti diketahui, kedua novel ini secara luas telah menjadi milik masyarakat sastra, dikaji dalam berbagai penelitian ilmiah akademik, menjadi bahan diskusi dan rasan-rasan di warung kopi dan sebagainya, serta masih tergolong mutakhir —belum lebih limabelas tahun sejak diterbitkan pertama kali—. Namun dalam keterbatasan pembacaan saya, munculnya kedua novel lebih didasari oleh keberadaannya cukup mewakili wacana tentang religiusitas yang berkembang. Juga, keberadaannya sebagai refleksi terhadap kehidupan umat beragama, baik pada level personal maupun level sosial.
Novel Hubbu menghadirkan persoalan eksistensi dan kegelisahan spiritual manusia. Berlatar belakang keluarga santri yang taat, ketertarikan pada mistik kejawen, dan kehidupan kota yang bebas bersama modernitas, melahirkan kompleksitas dan pergulatan batin yang membawa Jarot alias Abdullah Sattar dalam pencarian jatidiri. Mengajak berpetualang lebih jauh dalam sunyi mencari esensi dari “Sastra Gendra Hayuningrat”. Ilmu kesempurnaan atau entek-enteking kaweruh, peputoning laku, peputoning makrifat, dalam spiritualitas Jawa. Puncak pemahaman tentang Tuhan atau ma’rifat dalam tradisi Islam. Tuhan yang menciptakan perbedaan sebagai rahmat, agar tumbuh kasih sayang di antara sesama manusia.
Kesan di atas menjadi simpul utama dari wacana religiusitas yang hadir dalam novel Hubbu. Selain menyiratkan level personal, pencarian jatidiri Jarot mengingatkan kita pada sebuah ungkapan–hadits oleh sebagian ulama–, yaitu man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu—barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya—. Juga, pada lakon Dewa Ruci, yang digambarkan sebagai “wujud jatidiri” yang ditemui Bima, dalam tradisi pewayangan Jawa-Islam. Di sini, pengenalan lebih jauh terhadap Tuhan pada diri setiap umat beragama, tidak hanya ditengarai sebagai titik awal mula seseorang beragama, tetapi juga diarahkan untuk menanggapi kenyataan tentang “agama warisan orang tua dan masyarakat”.
Tentu saja, penanaman ajaran agama yang dilakukan oleh orang tua dan masyarakat adalah proses wajar dan tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi, sejalan dengan waktu dan perkembangan potensi-potensi kemanusiaannya, setiap orang perlu mengambil jarak dan secara otonom, memeriksa ajaran dan nilai yang ditanamkan kepada dirinya. Membaca rupa-rupa kehidupan yang membentangkan jarak antara idealitas dan realitas. Menempuh perjalanan sunyi mencari hakikat hidupnya, untuk mendapatkan pemahaman tentang Tuhan, untuk memperoleh kearifan dalam memandang setiap perbedaan, baik perbedaan yang hadir di antara sesama maupun perbedaan antara harapan dan kenyataan.
Barangkali, inilah idealitas yang hendak disampaikan oleh novel Hubbu. Terkait hal tersebut, maka “beragama” saja tidak cukup bagi seseorang. Tetapi juga harus “ber-Tuhan”, yang lebih menunjuk pada penghayatan—dimensi batin—terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya, serta kearifan dalam memandang segala yang hadir di hadapannya. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, yakni fenomena “gerak” agama yang cenderung mengarah (diarahkan) sebagai identitas dalam masyarakat, yang selalu melahirkan perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Terlebih jika proses dalam agama lebih terkonsentrasi pada aspek ritual, tanpa disertai pemahaman yang luas-mendalam bersama kearifan. Karena itu, wajar jika potensi eksklusivitas agama dan praktik keagamaan non-kompromis —juga konflik—, menjadi sesuatu yang kerap muncul. Tidak hanya terhadap penganut agama dan kepercayaan lain, tetapi juga dalam hubungan intern umat seagama, yang berbeda dalam praktik keagamaan maupun atribut.
***
Hadirin yang saya hormati
Jika konflik batin pada novel Hubbu hadir dalam latar pertemuan antara Islam, Jawa, dan gerak modernitas, yang sekaligus merepresentasikan individu di tengah masyarakat, munculnya konflik sosial pada novel Kambing dan Hujan dipicu oleh masuknya unsur budaya baru dalam masyarakat tradisional. Yakni kehadiran ormas keagamaan, yang pada gilirannya membawa konsekuensi munculnya identitas baru, yaitu anggota dan bukan anggota. Atau, jamaah ini dan jamaah itu. Tentu saja, sebagai yang niscaya bersama waktu, perubahan dan proses tersebut dipandang wajar. Namun, bagi masyarakat yang terbiasa hidup secara komunal, tentu menjadi permasalahan tersendiri. Bersama ragam kepentingan, varian tujuan baru, romantisme masa lalu, dan sebagainya, yang turut membangun kompleksitas di dalamnya.
Dibuka dengan percintaan antara Miftah dan Fauziah yang tersendat, novel Kambing dan Hujan, mengungkap konflik sosial antara massa NU dan massa Muhammadiyah di level akar rumput. Hal yang tak bisa dipungkiri, bahwa konflik tersebut bukan murni berkaitan dengan unsur ke-NU-an dan ke-Muhammadiyah-an, melainkan lebih disebabkan oleh konflik kepentingan, persaingan, atau semacam “dendam” terpendam, yang baru mencuat bersama perubahan dan identitas yang tegas berbeda. Pertanyaan tentang benih konflik yang selama ini terjaga, lebih disebabkan oleh berfungsinya peran tokoh agama dan tokoh adat dalam meredam hal tersebut. Namun, hal itu terbatas pada kondisi normal, bukan pada kondisi yang tengah berubah.
Memang, ada upaya dari para tokoh agama untuk menggali sumber-sumber ajaran agama. Akan tetapi, hanya sekadar untuk keperluan mencari dalil-dalil bagi klaim kebenarannya sendiri, yang terkadang disampaikan secara frontal. Suatu hal yang agaknya ingin dihindari oleh tokoh Jarot dalam novel Hubbu.
Konflik sosial antar massa kedua ormas keagamaan yang dikemukakan novel Kambing dan Hujan, merupakan gambaran kondisi nyata di lapangan. Setidaknya di wilayah kabupaten Lamongan yang menjadi latar tempat, dengan level yang relatif lebih rendah bersama keberadaan “masjid hijau” dan “masjid biru” di desa-desa yang menjadi basis massa keduanya. Tapi, itu dulu. Kini, ketegangan yang umumnya terjadi sekitar masalah praktik keagamaan, relatif menurun seiring perjalanan waktu. Pada titik ini, peran tokoh agama dalam memperkenalkan pemahaman keagamaan yang inklusif, moderasi beragama, menjadi catatan penting di dalamnya.
Hal yang menarik dalam novel Kambing dan Hujan adalah keberadaan cinta, yang tidak hanya membuka “luka lama”, tetapi juga membawa manusia pada romantisme hubungan dengan sesama. Cinta yang menggerakkan untuk saling memahami perbedaan di antara sesama manusia. Cinta yang menyatukan dan mengikat harmoni manusia dalam perbedaan. Sementara pada novel Hubbu, cinta lebih mengarah pada spiritualitas, yakni sebagai dasar untuk mewujudkan memayu hayuning bawana—keselamatan, kesejahteraan, perdamaian dunia—.
***
Hadirin yang saya hormati
Lazim diketahui, bahwa beda bukan dosa. Perbedaan adalah rahmat. Adalah fitrah sosial umat manusia diciptakan dalam jenis laki-laki dan perempuan, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, untuk saling mengenal (li ta’arafu), saling memahami (tafahum), saling bekerjasama, (ta’awun), dan menjadi satu kesatuan (takaful) dalam cinta kasih.
Dari semua perbedaan yang ada di antara manusia, yang paling mulia di sisi Tuhan, ialah orang yang paling bertakwa.
Kemudian muncul pertanyaan. Kenapa, yang paling bertakwa?!
Tapi, biarlah hal ini tetap menjadi pertanyaan setiap diri, bersama sunyi. []
Syauqi Sumbawi adalah Sastrawan Lamongan, Mendapatakan Anugerah Sutasoma 2021 di Balai Bahasa Jawa Timur. Naskah di atas merupakan orasi budaya pada acara ANUGERAH SUTASOMA 2021