”Kebahagiaan bisa kita dapat dari kotoran kerbau,” Surwono memulai orasi. Semua warga membenarkan. Sebagai calon kepala desa, ia memainkan taktik politiknya. Ia harus kembali memenangkan pilkades tahun ini. Ia akan melakukan berbagai cara untuk itu. Salah satunya dengan kerbau. Ia bisa menang, hanya dengan menyebut nama kerbau berkali-kali.
Kerbau yang tak tahu apa-apa, dipaksa makan, dipaksa minum serta diarak keliling desa. Lebih gilanya, Surwono berkali-kali mencium si kerbau, di depan khalayak ramai. Warga pun bersorak-sorai. Mereka seperti melihat dewa. Bukan, mereka seperti melihat dewa dalam diri Surwono. Atau mungkin, mereka seperti melihat Surwono menciumi dewa.
Kerbau menguak. Ia tampak bingung dengan perlakuan warga.Hidupnya kini sangat nyaman. Tak seperti kerbau lain, ia tak lagi kelaparan walau di musim kemarau. Kandangnya bergemelap dihias sedemikian rupa, penuh pernak-pernik dan pita-pita. Rumput hijau selalu melimpah ruah untuknya. Saban hari, warga memberinya rumput terbaik. Saban hari, warga bergantian membersihkan kandangnya. Sungguh betapa bahagianya si kerbau. Ia pun kembali menguak senang.
Beberapa warga berbondong-bondong mendatangi kandang. Beberapa warga menunggu. Beberapa warga sudah tampak kesal. Sebab kotoran tak kunjung keluar dari dubur kerbau. Sebab selain dilayani, si kerbau juga mesti melayani warga. Ia harus mengeluarkan kotoran sebanyak mungkin. Biar warga senang dan tidak bersungut-sungut lagi.
Namun, sudah sehari penuh kerbau masih tak mengeluarkan kotoran. Ia hanya berkemih, leye-leye, dan menguak.
Surwono panik bukan kepalang. Semua warga pada memberontak. Desas-desus tentang kerbau dan dirinya sudah berkeliaran.
“Dewa kerbau kita marah.”
“Ia tak mau makan dan tak mau lagi mengeluarkan kotoran kebahagiaan.”
“Huss! Kalian tak boleh berburuk sangka pada dewa kerbau. Kalau marah beneran, bisa hidup susah kalian!”
“Siapa juga yang mau berburuk sangka pada dewa kerbau?!”
“Aku curiga pada Surwono.“
“Keparat! Surwono pasti ia tak memperlakukan dewa kerbau dengan baik.”
Desas-desus tersebutsampai juga di telinga Surwono. Ia memikirkan berbagai cara untuk meredam desas-desus itu. Pikadessudahbegitu dekat. Ia seperti melihat kekalahannya sendiri, apabila desas-desus itu belum kunjung reda.
Surwono mondar-mandirdi beranda rumah. Suara binatang malammengusiknya. Kekesalannya kian memuncak, menjelma sebuah rencana. Akhirnya ia tersenyum sinis, menunggu tengah malam tiba.
Surwono mengendap-endapmenuju kandang kerbau di belakang rumahnya. Ia berharap tak ada orang yang memergoki. Sebab masalah akan bertambah, bila itu terjadi.
Kerbau sialan! Kau membuat kepalaku pusing saja, umpat Surwono dalam hati. Ia mendengus bengis. Ia menyimpan kekesalan yang mendalam. Ia paksa kerbau memakan segala rumput di kandang. Kerbau memberontak. Ia menguak panjang. Hingga banyak warga terbangun. Surwono tak peduli. Ia terus menyumpali mulut kerbau itu dengan rumput.
Warga berdatangan. Selain menganggu tidur, Surwono juga menyiksa kerbau yang dianggap dewa oleh warga. Warga sangat marah. Beberapa dari mereka ada yang membawa obor. Beberapa lagi membawa celurit dan seperangkat alat pukul lainnya. Mereka berniat membakar Suworno hidup-hidup. Mereka memilih kehilangan kepala desa, daripada kehilangan kerbau yang mengeluarkan kotoran kebahagiaan.
Surwono bergidik. Jantungnya berdetak cepat. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Kerling matanya melihat nyala api. Api yang sebentar lagi akan membakar tubuhnya sampai hangus. Kemudian tubuhnya dicincang. Para warga akan tertawa terpingkal-pingkal. Murakkap, pesaingnya di pilkades, akan menjadi kepala desa tanpa pilkades. Semua bayangan itu memenuhi kepala Surwono.
“Se… sebentar. Tenanglah. Sa… sa… saya hanya memberi makan sang dewa kerbau,” cegah Suworno. Ia berusaha meredakan amarah warga yang berkerumun mengepung dirinya.
“Sudah jangan meladeni Surwono,” seseorang berteriak di tengah kerumunan.
“Bunuh saja dia!” teriak yang lain.
“Dia mau membuat kita kembali kesusahan.”
“Bakar!”
“Hajar!”
Crat!
Para warga diam dan tertegun. Mereka bagai mendapatkan wangsit. Dan tiba-tiba mereka bertekuk lutut di hadapan Surworno.Surwono masih tak paham kejadian yang begitu cepat itu. Ia tercengang dan tampak kebingungan melihat warga yang awalnya mengamuk seketika menjadi jinak.
Kerbau kembali mengeluarkan kotorannya. Sejak malam itulah,warga menganggap Surwono adalah dewa. Bukan lagi kerbau itu yang dipercaya sebagai dewa. Warga percaya, Surwono lah yang mengirim kerbau itu ke Desa Kojung. Surwono pun kembali tersenyum sinis.
Warga kembali bahagia. Sebab pupuk dari kotoran kerbau itu telah membuat hasil panen warga menjadi berlimpah. Dan tentu, Surwono kembali terpilih menjadi Kepala Desa Kojung.
***
Kemenangan Surwono, membuahkan perasaan dengki di hati Murakkap. Ia tak percaya pada kerbau itu. Tentang kotoran kerbau kebahagiaan, ia menganggap kebetulan saja. Apalagi tentang Surwono yang kini sudah dianggap dewa. Murakkap tak terima kekalahannya dalam pilkades. Katanya, kemenangan itu diperoleh sebab kelicikan Surwono.
Babi! Berani-beraninya Surwono berlagak menjadi dewa, umpat Murakkap dalam hati. Ia mendengus bengis. Seluruh uangnya ludes untuk kampanye. Dendam pun membara dalam dadanya. Ia ingin membalas kekalahannya.
Seperti yang dilakukan Surwono dulu. Murakkap melakukan hal yang serupa. Tengah malam tatkala semua terlelap. Ia mengendap-endap mendatangi kandang kerbau itu yang berada tepat di belakang rumah lawannya, Surwono.
Ia melihat kerbau itu leye-leye di kandangnya. Sedang ekornya mengibas-ibas mengusir lalat yang hinggap di punggungnya. Murakkap tersenyum sinis. Ia ingin melenyapkan kerbau itu, agar tak ada lagi yang diagung-agungkan. Ia menganggap remeh-temeh kerbau itu.
. Kerbau biasa kok dianggap dewa, pikir Murakkap. Dengan bengis ia mengeluarkan celurit. Ia mengacungkan celuritnya. Dengan penuh amarah, ia tebas leher kerbau itu. Kerbau itu menguak keras. Darah muncrat sangat deras. Sebagian terciprat ke wajah Murakkap. Ia tersenyum sinis. Namun nahas, seseorang memergoki.
“Pembunuh dewa!” Teriak orang yang merondasembari berlari. Warga yang mendengar teriakan itu sontak terbangun. Begitupun Surwono, yang asik tidur dengan uang berlimpah ruah. Tahu-tahu ia keluar rumah dan bergabung dengan warga, mengejar dalang pembunuh kerbau itu.
Murakkap lari terbirit-birit. Hidupnya kini tergantung pada seberapa cepat ia berlari. Tapi akhirnya ia harus mengangkat tangannya. Sebab warga sudah mengepung di segala sisi. Ia bergidik ketakutan.
Surwono yang ikut adil dalam pengejaran itu, berjalan angkuh menghampiri Murakkap. Di sekelilingnya obor-obor menyala-nyala. Warga menampakkan wajah geram. Mereka berkoar-koar seperti tak sabar ingin membakar Murakkap. Surwono senang menatap mata Murakkap yang ketakutan. Hatinya tertawa girang, menyaksikan nasib Murakkap yang tak seperti nasibnya.
“Kita apakan orang ini?” Ujar Surwono yang menjambak rambut Murakkap. Sambil tersenyum senang melihat penderitaan Murakkap.
“Bunuh saja!”
“Bakar saja, Pak Kades!”
Amarah warga kian membuncah. Seolah kebahagiaan mereka telah direbut oleh Murakkap. Kian cepat pula jantung Murakkap berdetak. Ia bagai kehilangan arah. Matanya seperti akan segera menyaksikan kematiannya sendiri. Sedang Surwono terus menyusun rencana rencana licik di kepalanya.
“Kalau kita bunuh dia,kita akan kehilangan kebahagiaan.” Entah apa yang hendak dilakukan Surwono. Murakkap kian curiga dan cemas.
Para warga saling memandang satu sama lain. Mereka bersitegang. Entah apa keputusan yang diambil oleh kepala desanya. Bagi mereka, tak ada yang lebih pantas daripada membalas membunuh pembunuh dewa.
“Lalu apa kita harus melepasnya begitu saja?” Seseorang bertanya bingung.
“Kita buat dia menjadi kerbau kedua.” Ucapan Surwono bagai petir yang menyambar Murakkap. Sawah akan segera kembali tentram. Namun, Murakkap sebaliknya. Semua warga bersorak-sorai.[]
Pincuk, 23 Desember 2018
21.07
Aljas Sahni H, lahir di Sumenep, Madura. Kini bergiat di Komunitas Sastra Kutub Yogyakarta. Anggota literasi IYAKA. Serta salah satu pendiri Sanggar Becak.