Jakarta, Labumi.id, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memastikan pemindahkan ibu kota dari DKI Jakarta ke Pulau Kalimantan. Sebagai Kepala negara, bahkan telah meminta izin dewan parlemen untuk mengeksekusi rencana tersebut.
Langkah yang ditempuh Jokowi, memang luar biasa. Mimpi tersebut digaris bawahi oleh para kabinetnya, sebagai mimpi yang harus didukung. Jangan lihat sebagai masalah, tetapi bagaimana masalah itu dipecahkan bersama.
Benar, Jakarta sebagai ibu kota padatnya luar biasa. Sebagai ibu kota yang terhimpun ragam lapisan pusat sosial dan ekonomi, Jakarta sudah dipandang ringkih dalam beberapa kajian Bapennas dan akademisi yang pro kepada rencana pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke Paser Penajam Utara dan Kutai Kartanegara.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emil Salim menilai, upaya pemerintah yang membandingkan pemindahan ibu kota dengan negara lain dianggap sebagai salah kaprah. Pasalnya, Indonesia merupakan negara kepulauan.
“Kita ini negara kepulauan, ada 17.000 pulau, diapit dua samudera dan berada di pusat lalu lintas maritim. Di Brasil, kau bisa jalan kaki atau naik sepeda dari Rio ke Brasilia. Kau tidak bisa jalan kaki ke Kalimantan,” katanya.
Emil menegasakan agar diskursus pemindahan ibukota, jangan terlalu digampangkan dan disamakan dengan negara Indonesia dengan ibu kota kontingen. “Kita ini negara kepulauan. Mana logikanya,”sekali Emil menegaskan.
Hal yang sama juga diungkap Ekonom Senior INDEF Fadhil Hasan dalam sebuah diskusi. Bahwa perpindahan ibu kota tidak selalu berjalan mulus sesuai rencana.
Berdasarkan catatan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), ada beberapa bukti konkret pemindahan ibu kota berakhir dengan kegagalan.
“Setidaknya kita bisa melihat ada 4 kegagalan fungsi ibu kota negara,” kata Fadhil dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (24/8/2019).
Misalnya, seperti Putra Jaya. Fadhil mengutarakan, meskipun ibu kota sudah berpindah dari Kuala Lumpur, namun pegawai pemerintahan Malaysia justru tidak ikut berpindah ke Putra Jaya karena faktor keluarga. Secara jarak, Kuala Lumpur dan Putra Jaya berdekatan.
Selain itu, menurut Fadhil, pemindahan ibu kota Australia ke Canberra juga menjadi contoh konkret lainnya. Wilayah tersebut sambung, justru sepi dan tidak diminati oleh penduduk setempat untuk bermukim dalam jangka waktu lama.
“Pemindahan ibu kota Seoul ke Sejong sudah diputuskan sejak 2012, tapi sampai saat ini prosesnya masih belum selesai,” katanya.
Menurut Fadhil, salah satu kendala terbesar dalam pemindahan ibu kota adalah besarnya biaya pembangunan dan dinamika politik domestik. Kendala itu yang nanti akan menghambat pembangunan ibu kota baru.
Jika ditelisik lebih jauh, Indonesia memang bukan menjadi negara pertama yang memindahkan ibu kota. Dalam beberapa puluh tahun terakhir, ada sejumlah negara yang sudah terlebih dahulu memindahkan pusat pemerintahannya.
Mulai dari Rio de Janeiro ke Brasilia (Brasil), Dar es Salaam ke Dodoma (Tanzania), Karachi ke Islamabad (Pakistan), Lagos ke Abuja (Nigeria), Almaty ke Astana (Kazakhstan), hingga Kuala Lumpur ke Putra Jaya (Malaysia). (*)
(Tulisan ini diolah dari CBNC Indonesia)