Labumi.id – Gaung politik dinasti pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 9 Desember 2020 santer menjadi isu publik setelah sederet nama yang dicalonkan parpol memiliki kekerabatan dengan para politikus dan tokoh nasional.
Gibran Rakabuming Raka yang diusung PDIP sebagai wali kota Solo misalnya merupakan putra Presiden Joko Widodo, sehingga membuat para pesaingnya seperti Ahmad Purnomo yang dicalonkan DPC PDIP Solo diharuskan mengalah.
Selain Gibran, ada Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang masih keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang maju sebagai wakil wali kota Tangerang Selatan, kemudian Siti Nur Azizah, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang diusung Partai Demokrat sebaga wali kota Tangerang Selatan.
Deretan berikutnya, adalah Bobby Nasution yang diusung partai Gerindra adalah menantu Jokowi akan maju sebagai wali kota Medan, sedangkan Irman Yasin Limpo merupakan adik dari Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, diusung partai Golkar mencalonkan wali kota Makasar.
Tidak ketinggalan, dari 19 kabupaten dan kota di Jawa Timur yang mengikuti Pilkada terdapat deretan nama yang tidak lepas dari politik dinasti kekerabatan. Mereka adalah Hanindhito Himawan Pramana, putra Sekretari Kabinet Pramono Anung yang dijagokan PDIP sebagai bupati Kediri.
Selanjutnya adalah istri Bupati Banyuwangi Azwar Anas, yaitu Ipuk Fiestiandani yang juga jago dari PDIP. Titik Masudah, adik dari Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang diusung PKB sebagai calon wakil bupati Mojokerto.
Sedangkan di Kabupaten Sumenep, terdapat Achmad Fauzi yang juga dijagokan PDIP sebagai calon Bupati Sumenep, merupakan ponakan dari Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah. Achmad Fauzi merupakan petahana yang saat ini masih menjadi wakil bupati Sumenep.
Pengamat politik dan Direktur IndoStrategi Arif Nurul Imam menilai, praktik dinasti politik akan menghambat percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan demokrasi subtansial.
“Dinasti politik macam begini, hanya akan melanggengkan kekuasaan dan tentu saja menjadi penghambat demokrasi substansial, karena pemimpin produk tidak memiliki kepekaan terhadap masyarakat kecil,”kata Arif kepada kompas.com.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) TitiAnggraini. Menurut dia, praktek politik dinasti sama saja dengan membiarkan tata kelola pemerintahan daerah akan tata kelola personal di lingkaran keluarga sehingga rawan terjadi potensi korupsi.
“Politik dinasti ini parah, karena juga akan berdampak pada berbagai urusan keseharian masyarakat seperti pelayanan publik,”kata Titi dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Kenapa hal itu terjadi, menurut Titi, orientasi politik dinasti bukan melayani publik, tetapi bagaimana dia bisa melanggengkan kekuasaan. (Red)